(Ponorogo01/02)Sebuah angkringan biasanya terdiri dari satu buah rombong yang memiliki roda untuk dapat didorong atau dipindahkan serta beberapa buah bangku panjang dari kayu (dingklik) yang mengitari rombong tersebut. Disamping itu ada penutup atap semi permanen bersatu dengan tubuh rombong dan penutup atap tersebut memiliki kait / cantolan untuk memasang kain terpal atau kain biasa yang berfungsi sebagai penutup area sekitar rombong agar pelanggan yang datang sedikit memiliki privasi ketika sedang asyik duduk ngopi atau ngeteh.
Tepat di sudut kanan pintu masuk UPT SKB Ponorogo yang sekaligus juga sebagai pintu masuk kantor UPTD Cabang Dinas Kota, berjejerlah beberapa PKL yang memenuhi badan jalan di Jalan Soekarno Hatta Ponorogo. Salah satunya adalah angkringam Mbah Ri yang sudah berada di situ sejak tahun 1977 atau 36 tahun yang lalu. Seorang Bapak yang sederhana, lugu dan sudah cukup sepuh, tetapi masih terlihat gurat - gurat kekekaran di tubuhnya. Dahulu kata Mbah Ri, angkringannya ini juga menjual nasi pecel, rawon, lodeh dan aneka minuman. Namun sekarang seiring dengan usia yang sudah lanjut, maka dibagilah angkringan beliau dengan istrinya ditempat yang sama dengan lebih fokus berdagang pada makanan seperti diatas.
Walau hanya berdagang berupa angkringan yaitu wedang teh, kopi, kopi susu, jahe, es teh, jajan / gorengan, sego kucing, mie dan lainnya, namun Mbah Ri telah dapat mementaskan putra putrinya yang telah berkeluarga semuanya dan dapat memilki 3 buah rumah, dimana dua rumah diantaranya disewakan pada orang lain. Sebuah hasil kerja keras dan ketekunan yang nyata. Kini cucu Mbah Ri pun telah masuk Play Group Kuncup Harapan yang ada di UPT SKB Ponorogo.
Kesederhanaan angkingan Mbah Ri ini, tidak serta merta menjadikan pelanggannya menjadi turun gengsinya. Banyak diantara pelanggannya selain pamong belajar, juga ada guru-guru SMPN 1, pegawai UPT Cabang Dinas Kota dan tentunya masyarakat umum. Bahkan angkringan Mbah Ri ini merupakan posko wajib bagi pamong belajar untuk absensi, tentunya setelah absensi di kantor. Banyak ide - ide segar yang ditelurkan oleh Pamong Belajar dalam menjalankan tupoksinya ketika sedang asyik ngobrol disini. Walaupun ide - ide bagus tersebut terkadang tidak dapat diakomodir oleh Sang Nahkoda UPT SKB Ponorogo. Mungkin ide-ide tersebut tidak seseuai dengan kepentingan dari Sang Nahkoda.
Suatu ketika beberapa tahun yang lalu ada kejadian yang menarik sekaligus menyentuh hati. Beberapa Pamong Belajar sedang asyik duduk ngeteh dan ngopi. Ada yang ngobrol tentang program PNFI, ngobrol tentang isu-isu Nasional/daerah, ada yang asyik menghisap 123, ada yang baca koran dan sebagainya. Keasyikan masing - masing aktifitas tadi buyar secara tiba - tiba, ketika ada yang nyeletuk pada Mbah Ri. "Lho mbah Ri korane kok kualik nek moco" (Lho mbah Ri kok terbalik baca koran). Spontan semua yang ada di angkringan tersebut tertawa terpingkal - pingkal. Ternyata selama ini kita (pamong belajar) yang merupakan pelanggan tetap dari angkringan Mbah Ri, baru menyadari kalau beliau itu adalah buta aksara.
Sejurus kemudian ada rekan pamong belajar yang menyarankan dan mengajak Mbah Ri untuk ikut program KF yang diselenggarakan oleh UPT SKB Ponorogo. Dengan berbagai macam bujukan, rayuan dan argumentasi yang sekiranya dapat meluluhlantakkan pendirian beliau. Akan tetapi beliau tetap tidak bergeming, alias beliau tidak bersedia untuk ikut program KF. Alasan beliau sederhana saja, yaitu "alah mas, ngene ae wis oleh duit, nyapo susah susah sinau gek entek enteki waktu pisan" (alah mas, gini aja dah enak dapat uang, ngapain capek - capak belajar dan buang - buang waktu). Kemudian ada rekan lain yang nyeletuk,"masio ra iso moco, sing penting iso itung duit", semua yang ada disitupun tertawa lagi. Dengan raut wajah kecut dan sedikit kemerahan, Mbah Ri pun ikut mesam - mesem sambil menghisap kreteknya dalam - dalam. Mungkin dalam hati beliau berkata " Asem, saiki aku konangan nek ra iso moco ".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar