Senin, 27 Juli 2015

AKHIR DARI SEBUAH PENANTIAN YANG PANJANG

(Ponorogo, 27/07/2015).
Mengawali bulan Syawal ini, ada secercah harapan tentang status lembaga SKB yang selama ini terombang – ambing “antara ada dan tiada” dikarenakan kekuatan hukumnya hanya berdasarkan Perbup/Perwali, dimana sewaktu-waktu Perda tersebut dapat dicabut manakala sudah dianggap tidak memiliki peran dan fungsi serta nilai tambah bagi Pemerintah Daerah setempat.
Melalui surat DIRJEN PAUD dan DIKMAS tertanggal 3 Juli 2015 yang disampaikan kepada seluruh Bupati / Walikota se Indonesia, perihal Permohonan Perubahan Status UPTD SKB menjadi Satuan Pendidikan Nonformal, akan menjadikan SKB lebih memiliki payung hukum yang permanen. Tujuannya jelas yaitu mempertegas legalitas SKB sebagai penyelenggara program PAUD dan DIKMAS, sehingga SKB akan memperoleh NISPN (Nomor Induk Satuan Pendidikan Nonfromal), akreditasi dari BAN PNF, penjaminan mutu berdasarkan 8 Standar Nasional Pendidikan dan memperoleh NISN (Nomor Induk Siswa Nasional) bagi peserta didik.
Adapun fungsi SKB sebagai Satuan Pendidikan Sejenis adalah :                                        
1.   Melaksanakan program PAUD dan DIKMAS
2. Melakukan Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Satuan Pendidikan Nonfromal lainnya.
3.Melakukan Pendampingan bagi Satuan Pendidikan Lain yang menyelenggarakan program PAUD dan DIKMAS.
4.   Membuat Percontohan program PAUD dan Dikmas.
5. Mengembangkan Kurikulum dan Bahan Ajar Muatan Lokal bagi program PAUD dan DIKMAS.
6.Sebagai pusat penyelenggaraan Penilaian program PAUD dan DIKMAS 
7. Melaksanakan pengabdian masyarakat.

Dengan akan berubahnya status SKB menjadi Satuan Pendidikan Nonformal Sejenis, maka mau tidak mau, suka tidak suka akan berdampak pada implikasi yang lain, misalnya :
1. Bagaimana mensingkronisasikan antara Tupoksi PB (KBM, Pengkajian Program dan Pengembangan Model) dengan Fungsi SKB yang didalammnya ada aspek Pembinaan dan Pemdampingan program PAUD dan DIKMAS.
2. Dimana bagian Pembinaan Subdin Diklusepora/PLS Dinas Pendidikan Kab/Kota dan dimana yang bagian Pembinaan SKB.
3.  Perlu juga dibuatkan Permen standar Kalender Pendidikan Nonformal sebagai acuan SKB utk memulai dan mengakhiri proses KBM program Kesetaraan.
4.  Menurut saya, Perubahan Status SKB wajib hukumnya diikuti Perubahan Nama SKB. Sebuah nama akan memberikan aspek Pencitraan suatu Lembaga. Bayangkan 7 Fungsi tadi dibebankan pada lembaga yang bernama SANGGAR. Misalkan saja SKB berubah nama menjadi “Sekolah Pendidikan dan Pelatihan Masyarakat”. Kata sekolah bermakna universal, artinya tidak harus berkonotasikan sebagai lembaga formal atau non formal. Dan ini perlu ditunjang dengan landasan hukum yang kuat untuk perubahan nama tersebut.
5.Dalam surat tersebut disebutkan permohonan perubahan status SKB kepada Bupati/Walikota. Artinya tiap-tiap SKB di daerah ada kecenderungan tidak seragam dalam mendapatkan status barunya. Ini tergantung dari tingkat kelincahan SKB yg dibackup oleh Dinas Pendidikan setempat dan tingkat kepentingan, kepahaman, kemauan serta keurgenan dari Bupati/Walikota setempat. Oleh sebab itu pihak Pemerintah Pusat (Dirjen PAUD dan DIKMAS) perlu memberikan payung hukum untuk sedikit “mewajibkan” Bupati/Walikota setempat.
6. Mengenai pengabdian pada masyarakat perlu juga konsep yang jelas. Apakah seperti pada Perguruan Tinggi atau dalam bentuk yang lain. Dan sebenarnya keenam fungsi SKB secara keseluruhan sudah mencerminkan aspek pengabdian masyarakat, belum lagi ditambah dengan Tupoksi Pamong Belajar. Yang pada intinya meningkatkan harkat martabat, pengetahuan, ketrampilan dan kesejahteraan masyarakat marjinal, baik marjinal di bidang ekonomi maupun marjinal di bidang pendidikan. 

Selanjutnya kita tunggu saja langkah - langkah strategis yang akan ditempuh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Dirjen PAUD dan DIKMAS).  Akhirnya, semoga apa yang menjadi pemikiran ini, sudah diantisipasi lebih jauh oleh pihak – pihak yang berwenang. Jayalah SKB.

Selasa, 25 Februari 2014

POTRET GENUS YANG BERKASTA

(Batu, 25/02/2014)
Salah satu fase sejarah bangsa Indonesia adalah pada masa Kerajaan Hindu dan Budha. Pada masa itu terdapat tingkatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan dibagi menjadi empat, yaitu Kasta Brahmana (Pedande / Pendeta), Kasta Kesatria (Bangsawan / Panglima Perang), Kasta Vaisya (pegawai kerajaan / pedangang) dan Kasta Sudra (buruh tani / nelayan / pekerja kasar). Seperti pada sketsa di bawah ini :


Menginjak era dimulainya otonomi daerah tahun 2002, maka berubahlah status Pamong Belajar yang semula merupakan Aparatur Sipil Negara/PNS fungsional berstatus dari Pusat menjadi PNS Daerah. Sejak saat itulah struktur status Pamong Belajar memiliki strata yang berbeda satu dengan lain. Ada Kasta Pamong Belajar Pusat (BPPAUDNI/P2PAUDNI), lalu Kasta Pamong Belajar Provinsi (BPKB) dan terakhir Kasta Pamong Belajar Daerah (SKB). Adapun strata atau kasta dari Pamong Belajar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


1.   Kasta PB Pusat          :  -  Lembaga bernama BP PAUDNI / P2PAUDNI
 - Tusi lebih  mengedepankan  Pengembangan  Model  dan      Pengkajian Program.
 - Telah mendapatkan renumerasi plus masih akan mendapatkan  tunjangan fungsional PB.
  -    Mendampingi program dan monitoring ke daerah – dearah (SKB)
  -  Lebih banyak berperan sebagai NST suatu program dan sesekali sebagai tutor, disamping tugas utama sebagai Pamong Belajar
2.   Kasta PB Provinsi      :  -   Lembaga bernama BPKB
 - Tusi ada KBM dan juga ada Pengkajian Porgram ataupun    Pengembangan Model.
 -   Masih akan mendapat tunjangan fungsional plus telah mendapatkan  tunjangan daerah / kinerja ( triwulanan atau skema lainnya )
 -  Berperan sebagai tutor dan juga sebagai NST suatu program, disamping tugas utama sebagai Pamong Belajar
3.   Kasta PB Daerah       :  -   Lembaga bernama SKB
 - Tusi KBM dan sampai saat ini belum pernah mengerjakan    Pengkajian Program maupun Pengembangan Model
 -  Kepanjangan tangan dari Dirjen PAUDNI atau BPPAUDNI di    daerah – daerah.
 - Melaksanakan kegiatan dari limpahan model – model yang  dikembangkan BPPAUDNI atau P2PAUDNI
  -   Sebagai obyek uji coba model yang sudah mendapatkan restu dari  Dirjen.
  -  Sebagian besar masih proses panjang dalam realisasi tunjangan  fungsional dan sebagian kecil ada yang mendapatkan tunjangan  daerah/kinerja bagi Kab/Kota yang kaya (PADnya besar)
  - Bisa berperang sebagai Tutor Kursus, Bunda PAUD, Tutor KF, Tutor Kesetaraan tergantung program yang diampunya dan disamping peran utamanya adalah Pamong Belajar, sehingga oleh Bpk. FAUZI disebut sebagai Genus (bukan spesies)

Lebih lanjut, sepengetahuan penulis, baru Pamong Belajarlah yang merupakan Aparatur Sipil Negara (PNS) fungsional yang berkasta. Aparatur Sipil Negara (PNS) fungsional lainnya seperti dokter, perawat, guru, penyuluh pertanian, dosen dan seterusnya memiliki derajat yang sama, artinya mereka tidak dikonsep sebagai Aparatus Sipil Negara yang berkasta (Pusat, Provinsi maupun Daerah). Oleh karena itulah Pamong Belajar dapat dikatakan sebagai “Genus Yang Berkasta”

Efek negatif dari “Genus Yang Berkasta” ini, dapat kita ikuti pemberitaannya di jejaringan sosial IPABI. Lihatlah betapa Perpres No. 72 tahun 2013 tentang tunjangan fungsional Pamong Belajar dan Penilik tidak merata penerapannya dan terkesan oleh Pemkab / Pemkot lambat untuk ditangani atau masa bodoh.

Padahal ini sebuah Perpres dan menurut hirarki administrasi / birokrasi, bahwa sebuah dokumen Perpres sebenarnya dengan otomatis akan turun secara bertahap sampai ke tingkat paling bawah yaitu Kabupaten/Kota. Jadi sebenarnya tidak ada alasan, jika Kabupaten / Kota itu tidak mengetahuinya dan biasanya sudah inklud dalam DAU masing – masing Kabupaten / Kota. Seperti halnya pada Perpres No. 108 Tahun 2007 tentang Tunjangan Tenaga Kependidikan, yang nantinya sebenarnya dihapus dan diganti dengan Tunjangan Fungsional Pamong Belajar.

Efek negatif selanjutnya adalah adanya rasa kecemburuan di kalangan Kasta Pamong Belajar Daerah dan Provinsi, dikarenakan adanya penerimaan renumerasi bagi Kasta Pamong Belajar Pusat (BPPAUDNI / P2PAUDNI) yang dikemas tanpa gembar gembor, sehingga benar – benar memberikan efek surprise bagi penerimanya. “Sama – sama Pamong Belajarnya, sama – sama Tupoksinya, sama – sama Aparatur Sipil Negaranya, tetapi beda rejekinya,” demikian kata Bpk. FAUZI.

Bandingkan jika Pamong Belajar tidak memiliki kasta, dalam arti tidak ada perbedaan dalam status kepegawaiannya. Efek positinya adalah :
a.   Kita akan lebih cepat berkoordinasi.
b.   Proses tunjangan fungsional akan tepat waktu.
c.   Waktu dan tenaga kita tidak terkuras dengan birokrasi daerah.
d.  Kita akan lebih cepat mengaplikasikan program / model untuk diterapkan sampai kepelosok daerah.
e.  Kita akan sama – sama mendapat renumerasi.
f.    Kita akan mudah dalam merekrut Pamong Belajar baru.
g.  Mengefektifkan pemberian advokasi bagi Pamong Belajar yang bermasalah dengan hukum.
h.   Dan profesi Pamong Belajar akan disegani dan berkibar selama negeri ini ada.


Ya inilah Indonesia, sebuah negeri yang ternyata belum benar - benar lepas dari bayang – bayang sejarah masa lalu. Kita tunggu saja bulan Maret atau April 2014, apakah ada surprise atau  bahkan kecewa tak menentu ?

Jumat, 14 Februari 2014

WAHINGNYA SANG KELUD


 (Lamongan, 14/02/2014)
Pagi buta setelah subuh, saya dikagetkan suasana yang tidak biasa. Berawal ketika melihat sosok mobil yang parkir di depan rumah mertua, ternyata banyak debu di sekujur bodynya. Saya mengira itu adalah kotoran dari hasil perjalanan kemarin (hari kamis) dari Ponorogo ke Lamongan yang memang saat itu diguyur hujan selama dalam perjalanan. Tapi perkiraan saya sirna seketika itu, setelah mencoba mencolek body mobil yang ternyata banyak membawa debu dan debu ini mengingatkan saya seperti debu erupsi gunung merapi.
Sejurus kemudian saya berpikir, kira – kira telah terjadi letusan dari gunung mana ya ? Seorang tetangga bapak – bapak yang sedang jalan – jalan pagi saya sapa “Pak wonten nopo niki kok katah bledug ?”  Lho jenengan mboten mirsari TV to mas ? Mboten pak, lha kawit sore kulo sampun tilem. Niku lho Mas, Gunung Kelud mbledos.
Akhirnya saya dhong (mengerti), memang akhir - akhir ini ada berita tentang gejala erupsi di gunung Kelud yang terletak antara Kabupaten Kediri dengan Kabupaten Blitar. Tetapi saya tidak menyangka secepat ini letusan akan terjadi. Dari kejadian letusan gunung Kelud ini, maka kebiasaan di masyarakat umum sering menganalisis dari berbagai sudut pandang yang berbeda – beda, antara lain :
1.  Sudut pandang Ilmu Kebatinan atau Kejawen. 
-     Saya teringat ucapan salah seorang rekan Penilik di Jawa Timur yang juga seorang penganut aliran kebatinan. Dia mengatakan bahwa penampakan gejala Gunung Kelud yang akhir – akhir ini seakan ingin meletus, ada hubungannya dengan akan lahirnya “Satrio Paningit” dari Trah Soekarno yang akan memimpin Bangsa Indonesia.
-     Saat ini bakal jabang bayi tersebut (Satrio Paningit ini) telah dikandung oleh istri seorang kamituwo yang ada di daerah Tulungagung. Keistimewaan dari si bakal jabang bayi ini, dia dapat mempredikasi sesuatu yang akan terjadi melalui ucapan - ucapan ibunya. Disamping itu juga dapat menyembuhkan seseorang yang sedang sakit, dengan terlebih dahulu mengelus – elus perut ibu yang sedang mengandung tadi sambari mengucapkan sakit yang sedang diderita agar dapat sembuh.
-     Selanjutnya dia (rekan Penilik), juga mengatakan jika berita ini sebenarnya telah beredar di kalangan wartawan. Tetapi anehnya, ketika wartawan ingin meliput dimana rumah Sang Ibu ini, seolah kebingungan dan sulit mencari alamatnya.
-     Masih menurut rekan penilik ini, untuk menjaga bakal bayi dalam kandungan ini maka selalu dikawal 5 orang yaitu rekan penilik sendiri, ayah dan ibu bakal jabang bayi tersebut serta dua orang rekan lagi. Mereka berlima ini selalu patuh dan tunduk atas segala ucapan serta perintah sang bakal “Satrio Paningit” yang masih dalam kandungan ini. Misalkan hari ini (jam 9 malam) diperintah untuk bersemedi di gunung A melalui ucapan ibu kandungnya, maka seketika itu mereka berlima berangkat juga, termasuk ibu kandungnya yang sedang hamil tersebut. Begitu seterusnya dipastikan ada perintah – perintah berkala dan sifatnya mendadak, sampai menjelang lahirnya bayi tersebut atau meletusnya Gunung Kelud.
2.  Sudut pandang Ilmu Seismografi
Menurut para ahli, bahwa wilayah Indonesia ini memang dikelilingi jajaran gunung berapi yang masih aktif. Mulai dari Sumatera, Jawa sampai kepulauan Nusatenggara. Disebelah utara mulai dari Kepulauan Filipina, Sulawesi, Maluku sampai Papua. Disamping itu wilayah Indonesia juga merupakan pertemuan 2 lempengan benua, yaitu Asia dan Australia. Jadi wajar jika suatu saat Indonesia sering terjadi gempa disertai letusan gunung berapi. Terlebih untuk dekade saat ini memang sudah waktunya gunung – gunung di Indoensia untuk menunjukkan eksistensinya melalui bentuk bantuk – batuk kecil atau sekedar wahing (bersin).
3.  Sudut pandang Islam
-     Sudah menjadi Sunnatulloh jika di muka bumi ini ada 2 jenis kejadian alam yang selalu mengiringi perjalanan umat manusia dan bumi. Ada siang dan malam, ada sakit dan sehat, ada mati dan hidup begitu pula ada bencana dan kenyamanan (rasa ayem).
-     Setiap kejadian bencana, baik skala mikro (mati, kecelakaan, sakit, bangkrut, dll) maupun skala makro (banjir, gempa, tsunami, letusan gunung, angin puting beliung, dll) adalah dapat dipandang sebagai teguran, peringatan dan azab dari Allah SWT atas ulah, kelakuan dan tabiat manusia yang mengandung dosa serta mengabaikan ajaran – ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw melalui media berupa Al Qur’an maupun Hadist.
-     Solusi dalam menghadapi bencana baik yang akan terjadi, sedang terjadi maupun sudah terjadi adalah meningkatkan Taqwa kita kepada Allah SWT dengan cara menjauhi laranganNya dan menjalankan perintah – perintahNya sesuai dengan kemampuan kita. Misalnya selalu mengeluarkan zakat (baik zakat profesi, mal maupun fitrah), infag, sodaqoh dan sholat berjamaah, minimal dengan keluarga kita masing – masing.
-     Dalam suatu Hadist Kutsi dikatakan bahwa jika suatu daerah / kampung masih ada satu orang saja yang mau mengumandangkan azan (mendirikan sholat) di masjid / surau / langgar, maka bala’ ( bencana ) yang akan ditimpakan pada tempat itu akan dicabut / diurungkan oleh Allah SWT, karena kasih sayangnya Allah terhadap orang tersebut ( yang berazan ) sehingga berdampak pada orang lain di daerah itu walau tidak mengerjakan shalat. Artinya kita harus berterimakasih kepada mereka yang masih mau meluangkan waktu untuk azan dan mendirikan sholat berjamaah di masjid atau langgar. Termasuk saya pribadi juga dalam kesempatan ini mengucapkan terimakasih kepada muazin beserta jamaahnya.
Lebih lanjut, mari kita sikapi letusan Gunung Kelud ini dengan kewaspadaan tinggi dan pendekatan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan kita masing – masing. Kalaupun ada sudut pandang yang lain dari pembaca, maka saya persilahkan saja sebagai tambahan wawasan kita dan tidak perlu menjadi ajang perdebatan.
Sampai saat ini dampak dari letusan Gunung Kelud adalah bertaburnya debu vulkanik ke daerah – daerah lain, misalnya Ponorogo, Mojokerto, Sidoarjo, lamongan, Surabaya, Blora dan bahkan bandara Adisucipto Yogyakarta sampai lumpuh. Terakhir informasi yang saya dapat bahkan sampai ke daerah Jawa Barat.  Beberapa kalangan di masyarakat bahkan ada pemeo yang mengatakan, ini baru wahingnya (bersin) gunung Kelud, danio nek watuk (batuk), dalam arti benar – benar meletus berturut – turut.
Na’uzubillah min dalik, jangan sampai kejadian.

Kamis, 05 Desember 2013

Awas Tunjangan Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Penilik Bisa Tidak Dibayar! (Bagian 2)

(Ponorogo, 5/12/’13) Dalam tulisan Bpk. Fauzi tanggal (3/12/’13) menyebutkan tiga hal pokok yang menyebabkan Tunjangan Jabatan Fungsional PB dan Penilik tidak bisa dibayarkan, yaitu :
1. Pamong Belajar atau Penilik yang dalam surat keputusan pangkat terakhir tidak disebutkan jabatannya.
2. Penilik yang tugas kepenilikannnya hanya berdasarkan Nota Tugas oleh Kepala Dinas  setempat.
3. Pamong Belajar yang dokumen kepangkatan terakhir jabatan tertulis sebagai Guru pada SKB
Nah, ada lagi satu point tambahan yang menurut saya sangat urgen yaitu :
4. Pamong Belajar yang diangkat dalam Pangkat/Golongan Ruang IIa di SKB

Hal ini didasarkan pada kejadian di SKB Ponorogo yang pada waktu itu (tahun 2008) mendapat pegawai baru sebagai Pamong Belajar di SKB dengan golongan IIa. Dan saat ini (tahun 2013) rekan kami tersebut sudah naik pangkat menjadi golongan IIb.

Kejadian tersebut diatas, sepengetahuan penulis tidak lepas dari kebijakan yang diambil dari pimpinan SKB pada saat itu.

Penting sekali dari IPABI pusat memberikan advokasi terhadap permasalahan tersebut. Kami mohon share dan petunjuk dari rekan – rekan sejawat

Kamis, 28 November 2013

SEMOGA BUKAN SEBUAH ANTIKLIMAK

(Yogyakarta,28/11/’13) Alhamdulillah. Selamat, selamat dan selamat.
Mungkin kata – kata itulah yang pantas kita ucapkan kepada Pengurus Pusat IPABI. Begitu juga penulis, merasa bersyukur dan mengapresiasi kerja Pengurus Pusat IPABI yang telah membuahkan hasil berupa terbitnya Perpres No. 72 Tahun 2013 tentang tunjangan fungsional Pamong Belajar dan Penilik. Hal ini tidak lepas dari usulan pertama yang dilontarkan oleh Bpk. Fauzi Kromosudiro (Ketua Umum IPABI 2009-2012) yang mengawal secara terus menerus sampai masa akhir jabatan beliau sebagai Ketua Umum IPABI. Kemudian dilanjutkan oleh Bpk. Dadang Subagja (Ketua Umum IPABI 2012 -2016) beserta pengurus lainnya. Tak lupa pula, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bpk. Abubakar Umar, selaku Kasubdit PTK Dikmas Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUDNI, Dirjen PAUDNI Kemdikbud, yang dengan sabar selalu menjawab setiap kali insan – insan PNF (Pamong Belajar dan Penilik) menanyakan realisasi dari Perpres tersebut diatas. Beliau berkata “inilah kado istimewa, terindah dan tak terlupakan menjelang pensiun”.
Selanjutnya, kita sebagai Pamong Belajar tentunya sah – sah saja untuk bereforia sejenak atas terbitnya Perpres tersebut, sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan rasa sukur. Namun demikian rasa eforia kita janganlah berlebih – lebihan. Sebab ke depan masih banyak agenda – agenda atau pekerjaan rumah kita yang perlu diperjuangkan secara maksimal dan ini membutuhkan soliditas, pengorbanan, kerja keras, kerja cerdas dan kefokusan bersama dalam menuntaskan agenda tersebut. 

Dalam salah satu sesi kegiatan Workshop Bahan Ajar PP dan PM di Yogya saat ini, Ketua Umum IPABI  (Bpk. Dadang Subagja) telah menjabarkan 10 agenda yang perlu diperjuangkan bersama, yaitu :
1.   Pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) IPABI (Sudah terkonsep dan ada contoh)
2.   Memperjuangkan kepastian hukum tentang Batas Usia Pensiun (BUP) Pamong Belajar (Belum realisasi)
3.   Mengupayakan terbitnya peraturan ttg pemberian tunjangan fungsional Pamong Belajar (Realisasi)
4.   Mengupayakan terbitnya standar kompetensi dan standar kualifikasi Pamong Belajar (Sudah terkonsep)
5.   Memperjuangkan rekruitmen Pamong Belajar baru (formasi PB), terutama bagi UPTD kab/kota dan propinsi (Belum realisasi)
6.   Mengupayakan penarikan iuran anggota (Belum realisasi)
7.   Mempertahankan dan meningkatkan bantuan sosial bagi organisasi IPABI daerah dan pusat (Realisasi)
8.   Menjalin kemitraan dengan organisasi/asosiasi terkait.
9.   Menindaklanjuti pelaksanaan kegiatan konsolidasi organisasi di tingkat pengurus pusat, pengurus daerah dan pengurus cabang (Realisasi)
10. Melaksanakan Sosialisasi Permen PAN RB No.15 Tahun 2010 tentang Pamong Belajar dan Angka Kreditnya.

Diluar konteks agenda tersebut diatas, penulis mencoba memberikan usulan dan masukan bagi Pengurus Pusat IPABI yang mungkin akan bermanfaat dan memberi inspirasi bagi program – program di tahun – tahun mendatang. Adapun usulan dan masukan tersebut sebenarnya mereview kembali ketika penulis memposting dalam Group IPABI beberapa waktu lalu, yaitu sebagai berikut :
1.    Mengupayakan dibentuknya Biro Hukum / Ketua Bidang Hukum untuk IPABI.
Hal ini diperlukan untuk memperkuat dan mempertajam agenda IPABI nomor 8 dan 9. Artinya  organisasi profesi IPABI perlu mendapatkan backup secara hukum dalam setiap kegiatan organisasi maupun person Pamong Belajar yang kebetulan terkena suatu masalah. Selanjutnya dalam kegiatan konsolidasi seperti Worshop ini perlu sekali diundang NST bidang hukum, agar Pamong Belajar mendapatkan pencerahan dan tidak takut atau ewuh pekewuh dalam menyuarakan nasib atau kondisi lingkungan kerja yang mungkin kurang nyaman jika memang ada. Sebab berdasarkan pembicaraan penulis dengan rekan sejawat, masih banyak potensi – potensi “SKB Bergoyang” yang akan muncul jika tidak diantisipasi sejak dini. Cukuplah hanya “SKB Ponorogo yang Bergoyang” sebagai contoh dan jangan ada lagi “SKB bergoyang” lainnya.
2.  Mengupayakan pengembalian lembaga SKB dan status pegawai Pamong Belajar SKB ke pemerintah pusat.
Hal ini akan memperkuat dan mempertajam agenda IPABI nomor 1, 2, 5, 6, 9 dan 10. Keuntungannya antara lain :
a.  Memudahkan sistem perekrutan Pamong Belajar SKB yang baru, sehingga tidak terkendala sistem Otoda.
b.   Memudahkan pengadaan KTA, seragam, iuran anggota, BUP, konsolidasi dan Sosialisasi.
Walau menurut Bpk. Fauzi kendala utama pengembalian status pegawai PB SKB ke pusat adalah UU Otoda, namun hal ini dapat dicarikan solusi melalui Judicial Review ke MK. Disinilah peran utama Biro Hukum IPABI untuk bergerak.
3.  Mengupayakan penggantian nama lembaga SKB menjadi misalnya “Sekolah Pendidikan dan Pelatihan Masyarakat” (SPPM) atau “Sekolah Pendidikan Masyarakat” (SPM/versi Bpk. Fauzi).
Hal ini akan memperkuat agenda IPABI nomor 2 dan 8.
Penggantian nama akan meningkatkan pencitraan lembaga, mudah dikenal dan mungkin berdampak sistemik / otomatis terhadap BUP Pamong Belajar menjadi  60 tahun. Mengapa ? Karena kata Sekolah identik dengan guru, artinya jika lembaga SKB diganti dengan nama berawalan Sekolah, maka tupoksi Pamong Belajar yang sama/identik dengan Guru Formal, akan memudahkan perjuangan BUP menjadi 60 tahun. Selanjutnya sebagai perbandingan yaitu induk SKB yang bernama  BP-PAUDNI sebelumnya sering berganti – ganti nama menjadi BPPNFI, BPPLSP, dstnya. Artinya sah – sah saja jika SKB berganti nama demi kebaikan dan demi menyesuaikan kebijakan yang ada. Sedangkan kata Sekolah tidak serta merta bermakna lembaga formal, sebab sekolah memiliki makna luas dan universal. Seperti Sekolah Rumah misalnya. (Usul penulis tentang penggantian nama SKB diperkuat juga pada tulisan di Blog Pencerahan Pendidikan Nonformal milik Bpk. Fauzi).
4. Mengupayakan penerapan tusi Pengakajian Program dan Pengembangan Model dalam satu paket program yang diterima oleh SKB.
Artinya ketika SKB mendapatkan program, maka RAB pada program tersebut juga telah dicantumkan kegiatan Pengkajian Program atau Pengembangan Model. Tentunya hal ini dapat dilakukan setelah Modul Bahan Ajar Pengkajian Program dan Pengembangan Model telah dirampungkan dan didistribusikan oleh IPABI Pusat kepada Pamong Belajar di SKB. Langkah awal mungkin tusi Pengkajian Program saja terlebih dahulu yang dapat diterapkan.
5.  Mengupayakan peraturan tentang Jabatan Kepala SKB harus berasal dari Jabatan Fungsional Pamong Belajar.
Seperti halnya di lembaga Formal (SD, SMP, SMA), maka yang ditugaskan menjadi Kepala Sekolah otomatis adalah jabatan fungsional guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah.
6.  Mengupayakan pengiriman surat resmi dari IPABI Pusat beserta format LIDI secepatnya, bagi SKB – SKB yang belum menyetorkan data Pamong Belajarnya.


Usulan ini mungkin dapat dikatakan sulit atau tidak realistis. Akan tetapi menurut penulis, lebih baik gagal dalam mencoba dari pada tidak pernah dilakukan sama sekali. Di sisi lain dengan terbitnya Perpres ini, janganlah menjadikan antiklimak bagi semangat perjuangan Pengurus Pusat IPABI maupun semangat kinerja dari seluruh Pamong Belajar di Indonesia. Mari kita buktikan bahwa Pamong Belajar dapat tetap eksis dalam segala kondisi cuaca yang ada. Bravo Pamong Belajar….!!!

Jumat, 17 Mei 2013

MUHASABAH-NYA SEORANG PAMONG BELAJAR


(Ponorogo,18/05/’13). Beberapa isu pada minggu – minggu yang lalu sampai hari ini, khususnya di jejaringan sosial FB Ikatan Pamong Belajar Indoensia maupun Koalisi PB dan Penilik, memberitakan tentang serangkaian kegalauan perjuangan pengurus Pusat IPABI Pusat dalam memperjuangan nasib PNS yang berprofesi sebagai Pamong Belajar, yang tak kunjung membuat kita sedikit tersenyum. Sering kali informasi dan berita yang ada, akan membuat kita mengernyitkan dahi.

Kegalauan yang nyata dan sedikit menyakitkan itu antara lain :
1. Tidak disebutkannya klausul Pamong Belajar sebagai Pendidik Nonformal yang terstandarkan pada revisi PP No. 19 Tahun 2009 menjadi PP No. 32 Tahun 2013.
2. Tidak disebutkan juga tunjangan Pamong Belajar pada PP No. 22 Tahun 2013.

Yang lebih mencengangkan lagi justru profesi Pengembang Teknologi Pembelajaran dan Pranata Laboratorium Pendidikan sudah mendapatkan tunjangan fungsionalnya, yang notabene adalah profesi new comer dibandingkan dengan profesi Pamong Belajar yang lebih senior. Walau demikian kita (pamong Belajar) masih bersyukur dengan telah terbitnya Permendikbud No. 39 Tahun 2013 tentang Juknis Jabfung Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, yang nantinya dapat diapakai sebagai acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses kenaikan pangkat Pamong Belajar.

Melihat dua “kegalauan” diatas menggugah seorang Pamong Belajar dari sebuah Kota Kecil yang jauh dari hiruk pikuk Metropolitan Ibu Kota, untuk mencoba Bermuhasabah (mengevaluasi diri dan introspeksi diri) tentang langkah – langkah yang telah ditempuhnya, jika seandainya Dia sebagai sosok Pengurus IPABI Pusat.

Setelah melalui perenungan panjang dan diskusi dengan rekan sejawat, maka sosok Pamong Belajar Muhasabah ini mencoba merangkum apa yang telah diperolehnya melalui beberapa rangkaian pertanyaan mendasar yaitu :
1. Apa sebenarnya yang terjadi ditataran kebijakan Dirjen PAUDNI khususnya dan Kemmendikbud umumnya ?
2.  Mengapa langkah-langkah IPABI Pusat yang sudah on the track seolah ada yang menggembosi / gagal ditengah jalan ?
3.   Adakah kontribusi atau Bagaimana kontribusi dari  Pelindung IPABI ?
4.   Mungkinkah IPABI berjuang bersama PGRI ?
5.  Apa dampak dari dua “kegalauan” diatas bagi profesi PB dan lembaga SKB ke depan..?
6.  Apakah maksud dari istilah “bergerak pararel dan gerak cepat” dan mengapa IPABI “tidak bergerak pararel” seperti yang diutarakan Penasehat IPABI Bpk. Fauzi dalam salah satu tulisannya ?
7. Apakah ini sebuah Grand Desain untuk menghilangkan profesi Pamong Belajar dari jagat PNFI ?

Kesemua pertanyaan diatas hanya dapat dijawab oleh yang memiliki kebijakan dan mungkin juga sedikit rekan Pamong Belajar senior di pusat yang memiliki link ke pemangku kebijakan. Sedangkan Pamong belajar yang ada di daerah terpencil dan kota – kota pelosok hanya dapat menduga – duga seraya menganalisis dengan gaya komentar dan gaya bahasa masing – masing individu.

Beberapa evaluasi dan introspeksi diri dari Si Pamong Belajar Muhasabah ini, hanya dapat berandai – andai dalam kapasitas, jika Dia sebagai Pengurus IPABI Pusat yaitu sebagai berikut :
1.   Andai saja IPABI sedikit mengalah untuk menurunkan egoismenya, menjadi sayap organisasi dari PGRI, kemungkinan surat yang dikirim tempo hari agar memasukkan klausul Pamong Belajar dalam revisi PP 19 tahun 2013, akan mendapat perhatian, alias sangat direken sekali oleh Menteri. Alasan sangat jelas sosok yang bertanda tangan dalam surat tersebut orang yang sudah dikenal, orang yang berpengaruh dan orang yang disegani dengan pengikut/anggota jutaan orang.
2. Andai saja IPABI seperti PGRI yang telah memiliki banyak link dan memiliki orang – orang kuat dibelakangnya, maka dua “kegalauan” diatas pasti membuahkan hasil yang menggembirakan
3.   Andai saja langkah – langkah IPABI yang sudah on the track (formal) ini diiringi dengan langkah-langkah Nonformal-Informal seperti lobi-lobi yang intensit dengan menyertakan orang kuat dan berpengaruh, kemungkinan cepat berhasil.
Bukankan Pamong Belajar sebuah profesi di dunia pendidikan Nonformal dan Informal, tetapi mengapa perjuangannya tidak memakai langka-langkah Nonformal dan informal juga ?
4.  Andai saja profesi Pamong Belajar ini sudah membumi dan mendarah daging serta dikenal mulai dari tukang becak sampai bupati, gubernur dan menteri, tentulah akan semakin memudahkan langkah-langkah perjuangan IPABI.
5.  Andai saja masyarakat umum dan pemangku kebijakan telah melek, mengetahui dan memahami, bahwa pendidikan itu luas tidak hanya Formal (SD, SMP, SMU, PT) tapi juga Nonformal dan Informal (Kesetaraan, Keaksaraan, PAUD, Life Skill, Kepemudaan, Pendidikan Perempuan dst), maka perjuangan IPABI tentulah semakin lapang dan lancar.
6.    A..a..a..a....andai saja aku jadi presiden.....?

Namun demikian kita sebagai Pamong Belajar tetaplah harus bersemangat dan jangan putus harapan. Terus saja menjalankan profesi ini sebaik-baiknya, sebab Tuhan akan selalu menyertai orang – orang yang berjuang dijalanNya, termasuk menuntaskan mereka yang termarjinalkan agar lebih baik derajat kehidupannya. Inilah hasil Muhasabah-nya Pamong Belajar yang sesungguhnya. 

Senin, 04 Maret 2013

GIM (Gembiraloka Informal Meeting) “Sebuah Otokritik”



(Jogyakarta 02/03)
Ketika keluarga besar “Koperasi SKB Sejahtera” UPT SKB Ponorogo berencana refreshing ke Jogya dan sekitarnya, menggelitik saya untuk merencanakan bertemu dengan penasehat IPABI Pusat yaitu Bpk. Fauzi Kromosudiro. Satu minggu sebelum keberangkatan, usul itu saya utarakan pada teman – teman dan gayungpun bersambut, seketika teman-teman menyetujui dan menyerahkan teknis pertemuan (tempat dan waktu) kepada saya sepenuhnya. Jadi istilahnya sambil berlayar, dua tiga pulau terlampaui. Apalagi saat itu kasus “Ponorogo Bergoyang” yang mendera kami masih terombang- ambing dan tarik ulur antara BKD dengan Dinas Pendidikan. Belum ada kejelasan yang pasti kapan dan siapa yang akan membuatkan DP3 kami.

Dua hari sebelum keberangkatan (kamis siang), saya mencoba kontak dengan P. Fauzi, dan hasilnya beliau merespon rencana pertemuan tersebut, karena kebetulan hari sabtu itu beliau tidak ada acara yang urgen. Disepakati kami akan bertemu setelah tiba di lokasi kebun binatang “Gembiraloka” yaitu sekitar jam 12 siang ke atas. Jumat sore menjelang persiapan berangkat, bagai disambar geledek kami mendapat kabar, bahwa Kepala UPT SKB Ponorogo dimutasi, dan diganti oleh mantan Sekretaris IPI Kabupaten Ponorogo. Alhamdulillah, kami bersyukur semoga ada secercah harapan agar SKB Ponorogo ke depan lebih baik, walaupun tidak serta merta persoalan DP3  kami telah selesai, karena pejabat baru tidak mungkin mengeluarkan DP3. Selanjutnya sabtu tanggal 02 – 03 - 2013 jam 01.30 dinihari, kamipun berangkat ke Jogja, itung – itung sebagai sukuran atas telah berakhirnya rezim otoriter di lembaga kami.

Singkat cerita, kamipun bertemu dengan P. Fauzi sekitar  pukul 12.45 di dalam areal Gembiraloka. Walau tanpa suguhan dan duduk santai di emperan samping musola, pembicaraan berlangsung gayeng menyangkut nasib teman – teman.  Silih berganti teman – teman PB Ponorogo bertanya dan mengeluarkan uneg – unegnya. Mulai dari soal DP3 yang tertunda dan solusi untuk mengatasinya, soal tunjangan fungsional, soal UNPK Paket C, soal jabatan eselon IV, soal wacana SKB ke pusat, soal Kepala SKB baru, soal program-program PAUDNI 2013 dan seterusnya.

Pembicaraan mengalir deras dengan sendirinya, tidak terasa 1,5 jam telah berlalu sampai - sampai saya sendiri agak sungkan, karena yang mengundang kok tidak ada suguhan apa – apa, sehingga spontan saja saya mengajak P. Fauzi untuk ngopi di salah satu sudut warung areal luar Gembiraloka. Jadi inilah yang saya sebut sebagai GIM (“Gembiraloka Informal Meeting”). Artinya walau pertemuan itu tidak formal, alakadarnya dan cenderung santai ngobrol ngalur ngidul serta dilakukan secara spontan, tetapi memiliki makna dan arti yang mendalam bagi kami Pamong Belajar UPT SKB Ponorogo yang direda suatu permasalahan.

Ketika anggota suatu organisasi membutuhkan suatu pencerahan dari persoalan yang dihadapinya, maka kehadiran, respon, motivasi, empati dan kontribusi “penggede” yang mau mendengar, mau mensuport dan mau memberi sharing / solusi, itulah yang sebenarnya diharapkan anggota, sehingga kebermaknaan dan kehadiran suatu organisasi benar – benar dapat dirasakan, dan tentunya akan semakin memperkuat sendi – sendi serta soliditas organisasi. Terimakasih yang mendalam kami ucapkan kepada P. Fauzi yang dengan ikhlas dan rela membagi waktunya untuk kami Pamong Belajar SKB Ponorogo.

Kunci dari kehadiran organisasi itu adalah komunikasi yang intens, bermakna dan tidak ada kasta antara “penggede” dengan anggota organisasi tersebut. Di era globalisasi dan informasi ini, komunikasi sudah bisa dibangun secara murah dan efisien. Ada sms, ada jejaringan sosial (facebook, twitter, dll), teleconference, chating dan seterusnya.

Sayangnya masih ada saja “penggede” suatu organisasi yang (maaf) pelit untuk sekedar berkomentar di FB misalnya, khususnya yang menyangkut suatu permasalahan yang dihadapi oleh anggotanya. Padahal komentar yang sederhana dan sepele tersebut sangatlah bermakna untuk membangkitkan motivasi dan membangun komunikasi yang intens, sehingga akan terjadi suasana akrab. Terkadang yang hadir untuk memberi coment dan infromasi, hanya itu – itu saja. Seolah - olah tugas coment hanya pada humas atau sekretaris saja. Inilah yang menyebabkan semakin melebar jurang komunikasi antara “penggede” dengan anggotanya.  

Kami yang di daerah dan kebetulan mengalami suatu permasalahan, sebenarnya menginginkan suatu kehadiran dan kebermafaatan menjadi anggota suatu organisasi.  Minimal ada jalan keluar melalui teknis – teknis tertentu yang disharingkan oleh “penggede”. Ternyata dari sekian “penggede” yang ada hanya satu - dua saja yang merespon. Jadi jangan harap suatu organisasi akan menjadi besar dan kuat, jika tidak ada kepedulian dari “penggedenya” baik pusat maupun provinsi kepada anggotanya yang dirundung masalah. Terkadang kami berfikir dan bertanya – tanya dalam hati, Apa gunanya mereka ditunjuk sebagai pengurus ? Mungkinkah mereka takut untuk bersikap kritis ? Mungkin saja mereka menjaga kondite sebagai pegawai pusat ? Mungkin saja mereka akan dipromosikan ? Yang jelas hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu.

Inilah HALAMAN PERTAMA pasca kasus “Ponorogo Bergoyang” yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Mohon maaf jika ada tulisan yang kurang berkenan, semua yang saya sampaikan bertujuan untuk turut memperkokoh organisasi satu -satunya yang menaungi dan dimiliki Pamong Belajar.
Salam Satu Hati.....!!!