Kamis, 05 Desember 2013

Awas Tunjangan Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Penilik Bisa Tidak Dibayar! (Bagian 2)

(Ponorogo, 5/12/’13) Dalam tulisan Bpk. Fauzi tanggal (3/12/’13) menyebutkan tiga hal pokok yang menyebabkan Tunjangan Jabatan Fungsional PB dan Penilik tidak bisa dibayarkan, yaitu :
1. Pamong Belajar atau Penilik yang dalam surat keputusan pangkat terakhir tidak disebutkan jabatannya.
2. Penilik yang tugas kepenilikannnya hanya berdasarkan Nota Tugas oleh Kepala Dinas  setempat.
3. Pamong Belajar yang dokumen kepangkatan terakhir jabatan tertulis sebagai Guru pada SKB
Nah, ada lagi satu point tambahan yang menurut saya sangat urgen yaitu :
4. Pamong Belajar yang diangkat dalam Pangkat/Golongan Ruang IIa di SKB

Hal ini didasarkan pada kejadian di SKB Ponorogo yang pada waktu itu (tahun 2008) mendapat pegawai baru sebagai Pamong Belajar di SKB dengan golongan IIa. Dan saat ini (tahun 2013) rekan kami tersebut sudah naik pangkat menjadi golongan IIb.

Kejadian tersebut diatas, sepengetahuan penulis tidak lepas dari kebijakan yang diambil dari pimpinan SKB pada saat itu.

Penting sekali dari IPABI pusat memberikan advokasi terhadap permasalahan tersebut. Kami mohon share dan petunjuk dari rekan – rekan sejawat

Kamis, 28 November 2013

SEMOGA BUKAN SEBUAH ANTIKLIMAK

(Yogyakarta,28/11/’13) Alhamdulillah. Selamat, selamat dan selamat.
Mungkin kata – kata itulah yang pantas kita ucapkan kepada Pengurus Pusat IPABI. Begitu juga penulis, merasa bersyukur dan mengapresiasi kerja Pengurus Pusat IPABI yang telah membuahkan hasil berupa terbitnya Perpres No. 72 Tahun 2013 tentang tunjangan fungsional Pamong Belajar dan Penilik. Hal ini tidak lepas dari usulan pertama yang dilontarkan oleh Bpk. Fauzi Kromosudiro (Ketua Umum IPABI 2009-2012) yang mengawal secara terus menerus sampai masa akhir jabatan beliau sebagai Ketua Umum IPABI. Kemudian dilanjutkan oleh Bpk. Dadang Subagja (Ketua Umum IPABI 2012 -2016) beserta pengurus lainnya. Tak lupa pula, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bpk. Abubakar Umar, selaku Kasubdit PTK Dikmas Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAUDNI, Dirjen PAUDNI Kemdikbud, yang dengan sabar selalu menjawab setiap kali insan – insan PNF (Pamong Belajar dan Penilik) menanyakan realisasi dari Perpres tersebut diatas. Beliau berkata “inilah kado istimewa, terindah dan tak terlupakan menjelang pensiun”.
Selanjutnya, kita sebagai Pamong Belajar tentunya sah – sah saja untuk bereforia sejenak atas terbitnya Perpres tersebut, sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan rasa sukur. Namun demikian rasa eforia kita janganlah berlebih – lebihan. Sebab ke depan masih banyak agenda – agenda atau pekerjaan rumah kita yang perlu diperjuangkan secara maksimal dan ini membutuhkan soliditas, pengorbanan, kerja keras, kerja cerdas dan kefokusan bersama dalam menuntaskan agenda tersebut. 

Dalam salah satu sesi kegiatan Workshop Bahan Ajar PP dan PM di Yogya saat ini, Ketua Umum IPABI  (Bpk. Dadang Subagja) telah menjabarkan 10 agenda yang perlu diperjuangkan bersama, yaitu :
1.   Pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) IPABI (Sudah terkonsep dan ada contoh)
2.   Memperjuangkan kepastian hukum tentang Batas Usia Pensiun (BUP) Pamong Belajar (Belum realisasi)
3.   Mengupayakan terbitnya peraturan ttg pemberian tunjangan fungsional Pamong Belajar (Realisasi)
4.   Mengupayakan terbitnya standar kompetensi dan standar kualifikasi Pamong Belajar (Sudah terkonsep)
5.   Memperjuangkan rekruitmen Pamong Belajar baru (formasi PB), terutama bagi UPTD kab/kota dan propinsi (Belum realisasi)
6.   Mengupayakan penarikan iuran anggota (Belum realisasi)
7.   Mempertahankan dan meningkatkan bantuan sosial bagi organisasi IPABI daerah dan pusat (Realisasi)
8.   Menjalin kemitraan dengan organisasi/asosiasi terkait.
9.   Menindaklanjuti pelaksanaan kegiatan konsolidasi organisasi di tingkat pengurus pusat, pengurus daerah dan pengurus cabang (Realisasi)
10. Melaksanakan Sosialisasi Permen PAN RB No.15 Tahun 2010 tentang Pamong Belajar dan Angka Kreditnya.

Diluar konteks agenda tersebut diatas, penulis mencoba memberikan usulan dan masukan bagi Pengurus Pusat IPABI yang mungkin akan bermanfaat dan memberi inspirasi bagi program – program di tahun – tahun mendatang. Adapun usulan dan masukan tersebut sebenarnya mereview kembali ketika penulis memposting dalam Group IPABI beberapa waktu lalu, yaitu sebagai berikut :
1.    Mengupayakan dibentuknya Biro Hukum / Ketua Bidang Hukum untuk IPABI.
Hal ini diperlukan untuk memperkuat dan mempertajam agenda IPABI nomor 8 dan 9. Artinya  organisasi profesi IPABI perlu mendapatkan backup secara hukum dalam setiap kegiatan organisasi maupun person Pamong Belajar yang kebetulan terkena suatu masalah. Selanjutnya dalam kegiatan konsolidasi seperti Worshop ini perlu sekali diundang NST bidang hukum, agar Pamong Belajar mendapatkan pencerahan dan tidak takut atau ewuh pekewuh dalam menyuarakan nasib atau kondisi lingkungan kerja yang mungkin kurang nyaman jika memang ada. Sebab berdasarkan pembicaraan penulis dengan rekan sejawat, masih banyak potensi – potensi “SKB Bergoyang” yang akan muncul jika tidak diantisipasi sejak dini. Cukuplah hanya “SKB Ponorogo yang Bergoyang” sebagai contoh dan jangan ada lagi “SKB bergoyang” lainnya.
2.  Mengupayakan pengembalian lembaga SKB dan status pegawai Pamong Belajar SKB ke pemerintah pusat.
Hal ini akan memperkuat dan mempertajam agenda IPABI nomor 1, 2, 5, 6, 9 dan 10. Keuntungannya antara lain :
a.  Memudahkan sistem perekrutan Pamong Belajar SKB yang baru, sehingga tidak terkendala sistem Otoda.
b.   Memudahkan pengadaan KTA, seragam, iuran anggota, BUP, konsolidasi dan Sosialisasi.
Walau menurut Bpk. Fauzi kendala utama pengembalian status pegawai PB SKB ke pusat adalah UU Otoda, namun hal ini dapat dicarikan solusi melalui Judicial Review ke MK. Disinilah peran utama Biro Hukum IPABI untuk bergerak.
3.  Mengupayakan penggantian nama lembaga SKB menjadi misalnya “Sekolah Pendidikan dan Pelatihan Masyarakat” (SPPM) atau “Sekolah Pendidikan Masyarakat” (SPM/versi Bpk. Fauzi).
Hal ini akan memperkuat agenda IPABI nomor 2 dan 8.
Penggantian nama akan meningkatkan pencitraan lembaga, mudah dikenal dan mungkin berdampak sistemik / otomatis terhadap BUP Pamong Belajar menjadi  60 tahun. Mengapa ? Karena kata Sekolah identik dengan guru, artinya jika lembaga SKB diganti dengan nama berawalan Sekolah, maka tupoksi Pamong Belajar yang sama/identik dengan Guru Formal, akan memudahkan perjuangan BUP menjadi 60 tahun. Selanjutnya sebagai perbandingan yaitu induk SKB yang bernama  BP-PAUDNI sebelumnya sering berganti – ganti nama menjadi BPPNFI, BPPLSP, dstnya. Artinya sah – sah saja jika SKB berganti nama demi kebaikan dan demi menyesuaikan kebijakan yang ada. Sedangkan kata Sekolah tidak serta merta bermakna lembaga formal, sebab sekolah memiliki makna luas dan universal. Seperti Sekolah Rumah misalnya. (Usul penulis tentang penggantian nama SKB diperkuat juga pada tulisan di Blog Pencerahan Pendidikan Nonformal milik Bpk. Fauzi).
4. Mengupayakan penerapan tusi Pengakajian Program dan Pengembangan Model dalam satu paket program yang diterima oleh SKB.
Artinya ketika SKB mendapatkan program, maka RAB pada program tersebut juga telah dicantumkan kegiatan Pengkajian Program atau Pengembangan Model. Tentunya hal ini dapat dilakukan setelah Modul Bahan Ajar Pengkajian Program dan Pengembangan Model telah dirampungkan dan didistribusikan oleh IPABI Pusat kepada Pamong Belajar di SKB. Langkah awal mungkin tusi Pengkajian Program saja terlebih dahulu yang dapat diterapkan.
5.  Mengupayakan peraturan tentang Jabatan Kepala SKB harus berasal dari Jabatan Fungsional Pamong Belajar.
Seperti halnya di lembaga Formal (SD, SMP, SMA), maka yang ditugaskan menjadi Kepala Sekolah otomatis adalah jabatan fungsional guru yang mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah.
6.  Mengupayakan pengiriman surat resmi dari IPABI Pusat beserta format LIDI secepatnya, bagi SKB – SKB yang belum menyetorkan data Pamong Belajarnya.


Usulan ini mungkin dapat dikatakan sulit atau tidak realistis. Akan tetapi menurut penulis, lebih baik gagal dalam mencoba dari pada tidak pernah dilakukan sama sekali. Di sisi lain dengan terbitnya Perpres ini, janganlah menjadikan antiklimak bagi semangat perjuangan Pengurus Pusat IPABI maupun semangat kinerja dari seluruh Pamong Belajar di Indonesia. Mari kita buktikan bahwa Pamong Belajar dapat tetap eksis dalam segala kondisi cuaca yang ada. Bravo Pamong Belajar….!!!

Jumat, 17 Mei 2013

MUHASABAH-NYA SEORANG PAMONG BELAJAR


(Ponorogo,18/05/’13). Beberapa isu pada minggu – minggu yang lalu sampai hari ini, khususnya di jejaringan sosial FB Ikatan Pamong Belajar Indoensia maupun Koalisi PB dan Penilik, memberitakan tentang serangkaian kegalauan perjuangan pengurus Pusat IPABI Pusat dalam memperjuangan nasib PNS yang berprofesi sebagai Pamong Belajar, yang tak kunjung membuat kita sedikit tersenyum. Sering kali informasi dan berita yang ada, akan membuat kita mengernyitkan dahi.

Kegalauan yang nyata dan sedikit menyakitkan itu antara lain :
1. Tidak disebutkannya klausul Pamong Belajar sebagai Pendidik Nonformal yang terstandarkan pada revisi PP No. 19 Tahun 2009 menjadi PP No. 32 Tahun 2013.
2. Tidak disebutkan juga tunjangan Pamong Belajar pada PP No. 22 Tahun 2013.

Yang lebih mencengangkan lagi justru profesi Pengembang Teknologi Pembelajaran dan Pranata Laboratorium Pendidikan sudah mendapatkan tunjangan fungsionalnya, yang notabene adalah profesi new comer dibandingkan dengan profesi Pamong Belajar yang lebih senior. Walau demikian kita (pamong Belajar) masih bersyukur dengan telah terbitnya Permendikbud No. 39 Tahun 2013 tentang Juknis Jabfung Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, yang nantinya dapat diapakai sebagai acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses kenaikan pangkat Pamong Belajar.

Melihat dua “kegalauan” diatas menggugah seorang Pamong Belajar dari sebuah Kota Kecil yang jauh dari hiruk pikuk Metropolitan Ibu Kota, untuk mencoba Bermuhasabah (mengevaluasi diri dan introspeksi diri) tentang langkah – langkah yang telah ditempuhnya, jika seandainya Dia sebagai sosok Pengurus IPABI Pusat.

Setelah melalui perenungan panjang dan diskusi dengan rekan sejawat, maka sosok Pamong Belajar Muhasabah ini mencoba merangkum apa yang telah diperolehnya melalui beberapa rangkaian pertanyaan mendasar yaitu :
1. Apa sebenarnya yang terjadi ditataran kebijakan Dirjen PAUDNI khususnya dan Kemmendikbud umumnya ?
2.  Mengapa langkah-langkah IPABI Pusat yang sudah on the track seolah ada yang menggembosi / gagal ditengah jalan ?
3.   Adakah kontribusi atau Bagaimana kontribusi dari  Pelindung IPABI ?
4.   Mungkinkah IPABI berjuang bersama PGRI ?
5.  Apa dampak dari dua “kegalauan” diatas bagi profesi PB dan lembaga SKB ke depan..?
6.  Apakah maksud dari istilah “bergerak pararel dan gerak cepat” dan mengapa IPABI “tidak bergerak pararel” seperti yang diutarakan Penasehat IPABI Bpk. Fauzi dalam salah satu tulisannya ?
7. Apakah ini sebuah Grand Desain untuk menghilangkan profesi Pamong Belajar dari jagat PNFI ?

Kesemua pertanyaan diatas hanya dapat dijawab oleh yang memiliki kebijakan dan mungkin juga sedikit rekan Pamong Belajar senior di pusat yang memiliki link ke pemangku kebijakan. Sedangkan Pamong belajar yang ada di daerah terpencil dan kota – kota pelosok hanya dapat menduga – duga seraya menganalisis dengan gaya komentar dan gaya bahasa masing – masing individu.

Beberapa evaluasi dan introspeksi diri dari Si Pamong Belajar Muhasabah ini, hanya dapat berandai – andai dalam kapasitas, jika Dia sebagai Pengurus IPABI Pusat yaitu sebagai berikut :
1.   Andai saja IPABI sedikit mengalah untuk menurunkan egoismenya, menjadi sayap organisasi dari PGRI, kemungkinan surat yang dikirim tempo hari agar memasukkan klausul Pamong Belajar dalam revisi PP 19 tahun 2013, akan mendapat perhatian, alias sangat direken sekali oleh Menteri. Alasan sangat jelas sosok yang bertanda tangan dalam surat tersebut orang yang sudah dikenal, orang yang berpengaruh dan orang yang disegani dengan pengikut/anggota jutaan orang.
2. Andai saja IPABI seperti PGRI yang telah memiliki banyak link dan memiliki orang – orang kuat dibelakangnya, maka dua “kegalauan” diatas pasti membuahkan hasil yang menggembirakan
3.   Andai saja langkah – langkah IPABI yang sudah on the track (formal) ini diiringi dengan langkah-langkah Nonformal-Informal seperti lobi-lobi yang intensit dengan menyertakan orang kuat dan berpengaruh, kemungkinan cepat berhasil.
Bukankan Pamong Belajar sebuah profesi di dunia pendidikan Nonformal dan Informal, tetapi mengapa perjuangannya tidak memakai langka-langkah Nonformal dan informal juga ?
4.  Andai saja profesi Pamong Belajar ini sudah membumi dan mendarah daging serta dikenal mulai dari tukang becak sampai bupati, gubernur dan menteri, tentulah akan semakin memudahkan langkah-langkah perjuangan IPABI.
5.  Andai saja masyarakat umum dan pemangku kebijakan telah melek, mengetahui dan memahami, bahwa pendidikan itu luas tidak hanya Formal (SD, SMP, SMU, PT) tapi juga Nonformal dan Informal (Kesetaraan, Keaksaraan, PAUD, Life Skill, Kepemudaan, Pendidikan Perempuan dst), maka perjuangan IPABI tentulah semakin lapang dan lancar.
6.    A..a..a..a....andai saja aku jadi presiden.....?

Namun demikian kita sebagai Pamong Belajar tetaplah harus bersemangat dan jangan putus harapan. Terus saja menjalankan profesi ini sebaik-baiknya, sebab Tuhan akan selalu menyertai orang – orang yang berjuang dijalanNya, termasuk menuntaskan mereka yang termarjinalkan agar lebih baik derajat kehidupannya. Inilah hasil Muhasabah-nya Pamong Belajar yang sesungguhnya. 

Senin, 04 Maret 2013

GIM (Gembiraloka Informal Meeting) “Sebuah Otokritik”



(Jogyakarta 02/03)
Ketika keluarga besar “Koperasi SKB Sejahtera” UPT SKB Ponorogo berencana refreshing ke Jogya dan sekitarnya, menggelitik saya untuk merencanakan bertemu dengan penasehat IPABI Pusat yaitu Bpk. Fauzi Kromosudiro. Satu minggu sebelum keberangkatan, usul itu saya utarakan pada teman – teman dan gayungpun bersambut, seketika teman-teman menyetujui dan menyerahkan teknis pertemuan (tempat dan waktu) kepada saya sepenuhnya. Jadi istilahnya sambil berlayar, dua tiga pulau terlampaui. Apalagi saat itu kasus “Ponorogo Bergoyang” yang mendera kami masih terombang- ambing dan tarik ulur antara BKD dengan Dinas Pendidikan. Belum ada kejelasan yang pasti kapan dan siapa yang akan membuatkan DP3 kami.

Dua hari sebelum keberangkatan (kamis siang), saya mencoba kontak dengan P. Fauzi, dan hasilnya beliau merespon rencana pertemuan tersebut, karena kebetulan hari sabtu itu beliau tidak ada acara yang urgen. Disepakati kami akan bertemu setelah tiba di lokasi kebun binatang “Gembiraloka” yaitu sekitar jam 12 siang ke atas. Jumat sore menjelang persiapan berangkat, bagai disambar geledek kami mendapat kabar, bahwa Kepala UPT SKB Ponorogo dimutasi, dan diganti oleh mantan Sekretaris IPI Kabupaten Ponorogo. Alhamdulillah, kami bersyukur semoga ada secercah harapan agar SKB Ponorogo ke depan lebih baik, walaupun tidak serta merta persoalan DP3  kami telah selesai, karena pejabat baru tidak mungkin mengeluarkan DP3. Selanjutnya sabtu tanggal 02 – 03 - 2013 jam 01.30 dinihari, kamipun berangkat ke Jogja, itung – itung sebagai sukuran atas telah berakhirnya rezim otoriter di lembaga kami.

Singkat cerita, kamipun bertemu dengan P. Fauzi sekitar  pukul 12.45 di dalam areal Gembiraloka. Walau tanpa suguhan dan duduk santai di emperan samping musola, pembicaraan berlangsung gayeng menyangkut nasib teman – teman.  Silih berganti teman – teman PB Ponorogo bertanya dan mengeluarkan uneg – unegnya. Mulai dari soal DP3 yang tertunda dan solusi untuk mengatasinya, soal tunjangan fungsional, soal UNPK Paket C, soal jabatan eselon IV, soal wacana SKB ke pusat, soal Kepala SKB baru, soal program-program PAUDNI 2013 dan seterusnya.

Pembicaraan mengalir deras dengan sendirinya, tidak terasa 1,5 jam telah berlalu sampai - sampai saya sendiri agak sungkan, karena yang mengundang kok tidak ada suguhan apa – apa, sehingga spontan saja saya mengajak P. Fauzi untuk ngopi di salah satu sudut warung areal luar Gembiraloka. Jadi inilah yang saya sebut sebagai GIM (“Gembiraloka Informal Meeting”). Artinya walau pertemuan itu tidak formal, alakadarnya dan cenderung santai ngobrol ngalur ngidul serta dilakukan secara spontan, tetapi memiliki makna dan arti yang mendalam bagi kami Pamong Belajar UPT SKB Ponorogo yang direda suatu permasalahan.

Ketika anggota suatu organisasi membutuhkan suatu pencerahan dari persoalan yang dihadapinya, maka kehadiran, respon, motivasi, empati dan kontribusi “penggede” yang mau mendengar, mau mensuport dan mau memberi sharing / solusi, itulah yang sebenarnya diharapkan anggota, sehingga kebermaknaan dan kehadiran suatu organisasi benar – benar dapat dirasakan, dan tentunya akan semakin memperkuat sendi – sendi serta soliditas organisasi. Terimakasih yang mendalam kami ucapkan kepada P. Fauzi yang dengan ikhlas dan rela membagi waktunya untuk kami Pamong Belajar SKB Ponorogo.

Kunci dari kehadiran organisasi itu adalah komunikasi yang intens, bermakna dan tidak ada kasta antara “penggede” dengan anggota organisasi tersebut. Di era globalisasi dan informasi ini, komunikasi sudah bisa dibangun secara murah dan efisien. Ada sms, ada jejaringan sosial (facebook, twitter, dll), teleconference, chating dan seterusnya.

Sayangnya masih ada saja “penggede” suatu organisasi yang (maaf) pelit untuk sekedar berkomentar di FB misalnya, khususnya yang menyangkut suatu permasalahan yang dihadapi oleh anggotanya. Padahal komentar yang sederhana dan sepele tersebut sangatlah bermakna untuk membangkitkan motivasi dan membangun komunikasi yang intens, sehingga akan terjadi suasana akrab. Terkadang yang hadir untuk memberi coment dan infromasi, hanya itu – itu saja. Seolah - olah tugas coment hanya pada humas atau sekretaris saja. Inilah yang menyebabkan semakin melebar jurang komunikasi antara “penggede” dengan anggotanya.  

Kami yang di daerah dan kebetulan mengalami suatu permasalahan, sebenarnya menginginkan suatu kehadiran dan kebermafaatan menjadi anggota suatu organisasi.  Minimal ada jalan keluar melalui teknis – teknis tertentu yang disharingkan oleh “penggede”. Ternyata dari sekian “penggede” yang ada hanya satu - dua saja yang merespon. Jadi jangan harap suatu organisasi akan menjadi besar dan kuat, jika tidak ada kepedulian dari “penggedenya” baik pusat maupun provinsi kepada anggotanya yang dirundung masalah. Terkadang kami berfikir dan bertanya – tanya dalam hati, Apa gunanya mereka ditunjuk sebagai pengurus ? Mungkinkah mereka takut untuk bersikap kritis ? Mungkin saja mereka menjaga kondite sebagai pegawai pusat ? Mungkin saja mereka akan dipromosikan ? Yang jelas hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu.

Inilah HALAMAN PERTAMA pasca kasus “Ponorogo Bergoyang” yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Mohon maaf jika ada tulisan yang kurang berkenan, semua yang saya sampaikan bertujuan untuk turut memperkokoh organisasi satu -satunya yang menaungi dan dimiliki Pamong Belajar.
Salam Satu Hati.....!!!

Sabtu, 09 Februari 2013

JANGAN KATAKAN SETARA



(Ponorogo 10/02) Mengawali Tahun 2013 ini Dikmen mengadakan proyek rintisan Kejar Paket C berstandar Nasional yang ditujukan pada 50 lembaga penyelenggara program Kesetaraan Paket C di 14 provinsi. Tujuannya jelas, agar pendidikan Kesetaraan program Paket C dapat benar – benar mengacu pada 8 standar pendidikan, sehingga output yang dihasilkan akan dapat setara dengan Pendidikan Formal (SMA).

Disamping itu juga dalam hajatan Ujian Nasional April 2013 nanti, diterapkan sistem baru yaitu UNPK Paket C dan UN SMA akan dilaksanakan bersamaan dengan 20 model soal yang berbeda dalam satu ruang kelas. Hal ini menunjukkan upaya – upaya dari Kemendikbud agar peserta didik dari pendidikan Kesetaraan Paket C dapat disejajarkan dengan lulusan SMU (Pendidikan Formal). Sebagai seorang pelaku PNFI, tentulah sangat setuju sekali atas segala upaya dari Kemendikbud dan Dirjen terkait, agar pamor Pendidikan Kesetaraan Paket C menjadi lebih moncer. Akan tetapi jangan lupa bahwa yang kita hadapi adalah peserta didik yang bermasalah. Artinya Pendidikan Kesetaraan tidak hanya berkutat pada persolaan pendanaan, sistem atau saspras saja, akan tetapi yang lebih krusial adalah obyek / peserta didiknya. Jadi sampai kapan pun bahkan sampai dunia ini berakhir, peserta didik Kejar Paket C ( output / obyek ) tidak bakalan dapat disamakan / disejajarkan / disetarakan dengan peserta didik SMU.
Ada 2 argumentasi yang mendasari hal tersebut, antara lain :
1.    Ditinjau dari standar pelayanan minimal Kesetaraan ( KepMendiknas No. 055/U/2001 ) yang jauh panggang dari 8 standar Pendidikan Nasional, yaitu sebagai berikut :
NO
KOMPONEN
INDIKATOR / KRITERIA / SARAT
Standar Minimal
1.
Program Kegiatan
·    Proses KBM
·    Terlaksananya program kegiatan belajar
·    Tersedianya bahan belajar
Ada
Baik
Ada
2.
Peserta Didik
·    Paket A usia 7 – 44 thn (prioritas 7 – 15 thn), belum SD / drop out SD.
·    Paket B usia 12 – 44 thn (prioritas 13 – 18 thn), lulus SD / Paket A
·    Paket C usia 15 – 44 thn (prioritas 15 – 24 thn), lulus SMP / drop out SMA / lulus paket B.
·    Keberadaan warga belajar
·    Tingkat partisipasi warga belajar (WB)
·    Jumlah WB dalam kelompok

Terpenuhi

Terpenuhi

Terpenuhi
Ada
Tercapai
Tercapai
3.
Ketenagaan
·    Penyelenggara / Pengelola
·    Tutor ( Tidak harus sesuai jurusan )
·    Ratio Tutor dengan PD ( ideal1 : 20 )
SKB/PKBM
Ada
Tercapai
4.
Sarana Prasarana
·    Tempat / ruang belajar
·    Meja dan lemari
·    Buku modul bahan belajar pokok
·    Buku administrasi Kelompok Belajar
Ada
Tersedia
Tersedia
Tersedia
5.
Pembiayaan
·    Anggaran Pemerintah (APBD/APBN)
·    Anggaran Masyarakat (Swadaya)
Tersedia
Ada
6.
Peran serta Masyarakat
·    Pemantauan tokoh masyarakat
·    Pemantauan oleh masyarakat
Ada
Ada
7.
Kurrikulum dan Pembelajaran
·    Mata Pelajaran Paket A dan B sama dengan SD dan SMP
·    Mata Pelajaran Paket C hanya bisa untuk IPS saja.
·    Bahan belajar berupa modul dan lembar tugas partisipasi warga belajar (LTP-WB)
·    Proses KBM bersifat tutorial – klasikal, yaitu WB dituntut untuk berpartisipasi aktif / belajar mandiri atau kelompok.
·    Alokasi waktu Paket A, 9 jam/minggu @ 60 menit
·    Alokasi waktu Paket B, 12 jam / minggu @ 60 menit
·    Alokasi waktu Paket C, 16 jam/minggu @ 60 mnt
Terpenuhi

Ada

Ada
Terpenuhi


Terpenuhi
Terpenuhi
Terpenuhi

2.    Ditinjau dari Indikator 10 patokan Dikmas, maka perbedaan antara Pendidikan Kesetaraan Paket C dengan Pendidikan Formal (SMU), yaitu sebagai berikut :
NO
INDIKATOR
PERBEDAAN
PENDIDIKAN NON FORMAL
( Paket A,B,C )
PENDIDIKAN FORMAL
( SD, SMP, SMU )
1.
Peserta didik
§ Rentang usia warga belajar heterogen (10-44 tahun)
§ Latar Belakang pendidikan warga belajar heterogen
§ Motivasi belajar karena kebutuhan mendesak / ijazah
§ Warga belajar dapat berfungsi sebagai sumber belajar
§ Warga belajar lebih Mandiri dalam memilih program yang dibutuhkan
§ Penerapan warga belajar berdasarkan sasaran
§ Ada yang sudah bekerja baru ikut belajar
§ Rentang usia setiap jenjang lebih homogen
§ Latar Belakang pendidikan lebih homogen
§ Motivasi belajar untuk prestasi jangka panjang
§ Siswa bertindak sebagai anak didik
§ Siswa tidak dapat memilih program sesuai kebutuhannya
§ Penerapan siswa berdasarkan nilai yang diperoleh
§ Selesai sampai jenjang tertentu baru mencari pekerjaan
2.
Tutor / sumber  belajar
§ Biasanya disebut tutor
§ Pemilihan tutor lebih ditekankan pada segi keterampilan yang dimilikinya
§ Bersifat terbuka (siapapun dapat menjadi tutor)
§ Bertindak sebagai fasilitator
§ Tidak ada perjenjangan karir
§ Tidak digaji pemerintah / honor
§  Disebut guru
§  Ditekankan pada kemampuan akademis
§  Bersifat tertutup (latar Belakang akademik)
§  Bersifat sebagai nara sumber utama
§  Ada jenjang karir
§  Digaji pemerintah / swasta
3.
Penyelenggara 

§ Lebih bersifat sukarela / nonbenefit (kecuali untuk program khusus)
§ Perseorangan, PKBM, LSM atau instansi (SKB/BPPNFI)
§ Bertindak sebagai fasilitator
§  Mendapat gaji
§  Diselenggarkan oleh pemerintah atau lembaga / yayasan berbadan hukum
§  Bertindak sebagai pengelola
4.
Sarana belajar
§ Sarana belajar berbentuk variatif (modul, leaflet, booklet, poster, dsb) sesuai dengan kebutuhan belajar
§ Materi bahan belajar dikembangkan sesuai program yang dikembangkan
§ Sarana belajar/learning kit sangat variatif
§ Bahan belajar dapat disusun oleh siapa saja (termasuk warga belajar itu sendiri)
§ Memanfaatkan sarana belajar yang ada
§ Pengalaman peserta didik dimanfaatkan utk bhn belajar
§  Sarana / learning kit yang dibutuhkan sudah baku
§  Materi bahan belajar homogen (berdasarkan kurikulum nasional)
§  Jenis bahan belajar kurang variatif (bentuk buku atau modul)
§  Bahan belajar disusun oleh para ahli
§  Sering berubah-ubah
§  Kurang mengakomodasi pengalaman siswa / peserta didik
5.
Tempat Belajar
§ Memanfaatkan bangunan prasarana yang ada
§ Mengoptimalkan sarana yang tersedia
§  Dilakukan di gedung sekolah sendiri
§  Mengadakan sarana yang dibutuhkan (Sengaja diadakan untuk mendukung proses belajar)
6.
Dana
§ Swadaya masyarakat/ warga belajar
§ Bantuan pemerintah, LSM, badan swasta lainnya
§ Pengelolaan dana hak dari penyelenggara & bersifat tertutup.
§  Swadaya
§  Bantuan pemerintah
§  Dibebankan pada negara
§  Pengelolaan dana bersama dengan komite sekolah.
7.
Ragi belajar
§ Pemberian ragi belajar disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar
§  Pemberian ragi belajar harus sesuai kurikurulum dan terstandar
8.
Kelompok belajar
§ Jumlah kelompok 10-20 orang
§ Pembentukan kelompok berdasarkan minat yang sama (melibatkan warga belajar)
§ Ikatan kelompok bersifat informal
§  Jumlah kelompok bisanya 30 lebih
§  Pembentukan kelas ditentukan oleh penyelenggara
§  Ikatan kelompok bersifat formal
9.
Program belajar
§ Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan WB
§ Kurikulum lebih menekankan kemampuan praktis
§ Memungkinkan perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan perubahan keadaan tempat.
§ Program belajar boleh tidak berjenjang
§ Persyaratan keikutsertaan program belajar relatif terbuka (usia latar Belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dsb)
§ Program dikembangkan untuk mengatasi masalah riil yang dirasakan mendesak/ jangka pendek
§ Penyusunan program melibatkan masyarakat secara partisipatif
§ Proses pembelajaran secara kelompok dan mandiri
§ Pelaksanaan / waktu belajar fleksibel sesuai kesepakatan
§ Penyelesaian program relative singkat
§ Memberdayakan potensi sumber setempat
§ Sistem pembelajaran tatap muka, tutorial dan mandiri
§  Kurikulum disusun di pusat (sentralisasi)
§  Lebih menekankan kemampuan teoretis akademis
§  Kurikulum lebih bersifat baku (sulit berubah) kurang dinamis tidak adaftif dengan perkembangan
§  Perjenjangan bersifat baku
§  Persyaratan keikutsertaan program bersifat baku dan berlaku menyeluruh (secara nasional)
§  Program dikembangkan untuk menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
§  Program disusun sepenuhnya oleh pemerintah, masyarakat bersifat pasif / pengguna
§  Pembelajaran dilakukan secara klasikal
§  Waktu belajar sudah pasti
§  Penyelesaian program lama
§  Penekanan pada penguasaan pengetahuan akademis
§  Mengabaikan nara sumber / potensi sekitar
§  Sistem pembelajaran 90 % tatap muka.
10.
Hasil belajar
§ Hasil belajar dapat dijadikan bekal untuk bermatapencaharian
§ Hasil belajar berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
§ Dapat diterapkan sehari-hari
§ Ijazah kurang diakui oleh jenjang yang lebih tinggi
§  Berpotensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi
§  Hasil belajar untuk jenjang karir di masa datang
§  Hasil belajar tidak dapat langsung diterapkan dalam dunia nyata
§  Ijazah merupakan hasil akhir

Dari dua argumentasi itu saja, kita sudah mendapatkan gambaran secara umum betapa jauhnya “derajat”/”kasta” yang dimiliki oleh Pendidikan Kesetaraan Paket C, jika dibandingkan dengan Pendidikan Formal SMU. Bagaikan kodok merindukan bulan. Mengapa demikian ? Karena kita terjebak oleh pengistilahan Kesetaraan, yang seolah - olah menginfromasikan kepada publik bahwa output peserta didik Paket C itu memiliki kualitas yang sama dengan output Peserta didik SMU. Walaupun sekarang diadakan proyek rintisan Paket C Berstandar Nasional yang menerapkan “kontrak belajar” antara peserta didik, tutor dan pengelola, maka hal itu tidak serta merta dapat menjamin naiknya “derajat”/”kasta” dari Program Pendidikan Kesetaraan.
Ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan sulitnya Program Pendidikan Kesetaraan dapat naik “derajat/kasta” antara lain :
1. Faktor latar belakang peserta didik Paket C yang termarjinalkan baik dari segi ekonomi, sosial,  pendidikan, dan lainnya.
2.    Faktor motivasi belajar peserta didik yang berbeda antara Pakat C dengan SMU.
3.    Faktor keragaman persoalan pribadi dari peserta didik Paket C, artinya tidak mungkin seseorang masuk menjadi siswa Kejar Paket C, kalau mereka tidak memiliki masalah yang krusial. Dengan kata lain mereka yang mengikuti Program Pendidikan Kesetaraan 90% pasti adalah orang – orang yang bermasalah.
4.  Faktor geografis, yaitu banyak peserta didik Program Kesetaraan dari desa-desa pelosok atau menjadi anak asuh bagi orang tua-orang tua yang tinggal di kota. Sehingga secara psikologis mereka sudah minder dan kurang percaya diri.
5.    Faktor gengsi dan keraguan kualitas, artinya belum ada anak – anak dari Pelaku PNFI (Pamong Belajar, Penilik bahkan pegawai di Kemdiknas / Dirjen terkait) yang tega menyekolahkan putra putrinya ke Pendidikan Kesetaraan.

Oleh karena itu diperlukan suatu kejujuran dalam penamaan dan penyebutan istilah-istilah pada Program Pendidikan Kesetaraan (Kejar Paket A, B dan C). Artinya selama ini kita dan masyarakat umum secara tidak langsung didoktrin oleh istilah – istilah yang mengaburkan arti sebenarnya (pemaknaan). Kata “Setara” atau “Sejajar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna “Sama” atau “disamakan”.  Jika yang dimaksud Pendidikan Kesetaraan dalam konteks kelulusan yaitu bahwa lulusan peserta didik Paket C akan memiliki kompetensi “setara / sejajar” dengan lulusan peserta didik SMU atau Ijazah yang dihasilkan dari Program Kejar Paket C “setara / sejajar” dengan Ijazah yang dihasilkan Sekolah SMU, maka inilah yang menjadi problem utama, kerancuan dan pengaburan arti/makna sebenarnya, hingga kita dan masyarakat umum terjebak dengan doktrin seolah - olah lulusan Ijazah paket C setara kualitasnya dengan Ijazah SMU. Hal ini nantinya akan menjadi bumerang bagi KEMDIKBUD karena dapat dikatakan sebagai informasi yang menyesatkan.
Sebagai solusi mari kita sebagai pemangku kebijakan ataupun sebagai pelaku PNFI harus mengakui secara jujur bahwa memang Program Pendidikan Kesetaraan itu berbeda baik dari segi kualitas maupun kuantitas dengan Pendidikan Formal SMU. Sehingga penamaan Pendidikan Kesetaraanpun sebaiknya dirubah, mungkin dengan nama Pendidikan Alternatif atau nama yang lain. Sebagai institusi Pendidikan PNFI (SKB/PKBM/BPKB/BP PAUDNI) tentulah mengharapkan dapat menelurkan peserta didik yang terbaik sebagai manivestasi ikut mengorbitkan generasi penerus bangsa. Dan sebagai pendidikpun (Pamong Belajar), dituntut memberikan pembelajaran dengan materi yang benar dan jujur. Kalau penamaan istilah saja sudah tidak jujur, bagaimana kita dapat menelurkan generasi yang baik dan berkualitas ?
Terakhir, yang terpenting setelah ada pergantian nama / istilah, bahwa lulusan paket A, B, C (Pendidikan Kesetaraan) diberikan regulasi yang nyata oleh pemerintah agar dapat meneruskan ke jenjang Pendidikan Formal yang lebih tinggi, tanpa harus berbelit birokrasi serta membedakan dengan lulusan pendidikan Formal (SD, SMP, SMU).