Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Artinya bahwa manusia sepanjang hidupnya membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya dan hal ini secara tidak langsung tercermin pada aspek kehidupan kita sehari – hari misalnya dalam berorganisasi maupun dalam pergaulan masyarakat (bermasyarakat). Karena disanalah sebenarnya diri kita mengaktualisasikan potensi diri melalui proses pembelajaran pada permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
Dunia pendidikan merupakan dunia yang unik dan penuh dengan beragam permasalahan, baik itu yang berasal dari intern maupun ekstern lingkungan pendidikan. Kondisi ini adalah hal yang wajar sekali, mengingat dunia pendidikan tidak saja mengelolah benda – benda fisik, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya yaitu mengelolah sesuatu yang hidup berupa manusia yang memiliki perasaan, pikiran, egoisme, nafsu / hasrat dan keinginan – keinginan lainnya.
Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini adalah 1) Peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan, 2) Peningkatan kualitas pendidikan, 3) Peningkatan efesiensi pendidikan, dan 4) Peningkatan relevansi pendidikan. Begitu pula tantangan di lingkungan Pendidikan Non Formal (PNF), dimana permasalahan – permasalahan yang terjadi semakin komplek saja. Hal ini disebabkan dunia Pendidikan Non Formal adalah dunia yang berhadapan langsung dengan masyarakat / peserta didik yang “bermasalah”, baik itu bermasalah dari segi ekonomi (kemiskinan), segi pendidikan (putus sekolah), segi sosial (pengangguran), segi sumber daya manusia (rendahnya ketrampilan yang dimiliki) dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Pendidikan Non Formal menitik beratkan pada pemberdayaan “masyarakat sampah” atau masyarakat yang bermasalah secara kolektif.
Masyarakat yang bemasalah ini secara umum sering disebut sebagai “Masyarakat Marjinal”. Secara harfiah marjinal berasal dari kata marjin yang artinya tepi atau pinggiran. Sedangkan masyarakat marjinal sering disebut sebagai masyarakat pinggiran. Dimana salah satu ciri khas dari masyarakat marjinal adalah tidak terperdayanya / terpinggirnya keberadaan mereka dalam mendapatkan akses ekonomi, pendidikan, sosial budaya bahkan politik, sehingga menyebabkan timbulnya pemiskinan struktural, kebodohan dan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan.
Mengutip beberapa tulisan yang ada, dinyatakan bahwa keberadaan mereka dapat dikatagorikan sebagai kaum buruh rendahan, kaum imigran kota (pemukinan kumuh dan padat), masyarakat di daerah perbatasan, maupun masyarakat desa tertinggal karena faktor sumber daya alam yang tidak mendukung. Keberadaan mereka pelan tapi pasti menjadi penyebab terjadinya akumulasi segala bentuk penyakit masyarakat seperti pelacuran, gelandangan / pengemis, anak jalanan, pencurian, perampokan, human trafficking, narapidana, dan lain - lain di suatu negara. Dengan demikian masyarakat marjinal ini bila tidak diberdayakan melalui pemberian solusi yang tepat, maka dapat menjadi bom waktu yang dahsyat, sehingga dapat merusak sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan, khususnya Pendidikan Non Formal (PNF) merupakan kata kunci yang tepat dalam mengurai benang kusut yang terjadi dalam masyarakat marjinal. Salah satu unsur dalam PNF adalah Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill). dimana inti dari Pendidikan Life Skill ini adalah pembelajaran pada peserta didik dengan mengutamakan aspek ketrampilan yang dapat dipakai sebagai penunjang dan pegangan hidup bagi mereka. Artinya ada relevansi pendidikan dengan kehidupan nyata yang nantinya akan dijalani oleh peserta didik. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) merupakan salah satu institusi dari Pendidikan Non Formal yang memiliki peran penting dan strategis sekali dalam upayanya memberdayakan masyarakat marjinal khususnya di bidang pendidikan yaitu melalui program – program pendidikan Life Skill seperti pertukangan kayu, otomotif, menjahit, bordir, sablon, elektro, komputer dan lain – lain. Sehingga tidak salah bila problem kemiskinan dan kebodohan yang dihadapi masyarakat marjinal dapat dicarikan solusinya melalui program - program PNF yang ada dalam institusi Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).
Kondisi Pendidikan Pada Masyarakat Marjinal
Salah satu kontribusi terbesar terserapnya peserta didik pada program Kesetaraan maupun Kecakapan Hidup (Life Skill) adalah masyarakat marjinal yang berada pada desa tertinggal / miskin akibat aspek Sumber Daya Alam yang tidak mendukung kehidupan mereka. Dari data yang ada, bahwa jumlah masyarakat miskin tahun 2004 sebanyak 36,1 juta dan tahun 2005 meningkat menjadi 54 juta, dimana sekitar 15,4 juta penduduk miskin tersebut mendapatkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan alokasi dana APBN dari kompensasi kenaikan BBM.
Kondisi di atas menjadi semakin rumit ketika terjadi krisis ekonomi yang kedua pada tahun 2007, yang menyebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat semakin terpuruk, yaitu banyaknya industri keuangan (bank, asuransi, lembaga kredit, dll) yang gulung tikar sehingga terjadi PHK masal. Dampak tersebut menyeret pula pada sektor industri yang masih banyak memiliki hutang pada lembaga keuangan, sehingga terjadi gagal pembayaran.
Masyarakat miskin desa ditambah dengan masyarakat miskin kota akibat PHK inilah yang memiliki kontribusi terbesar pada jumlah angka pengangguran terbuka di Indonesia yaitu tahun 2003 sebanyak 9,5 juta, tahun 2004 sebanyak 10,8 juta dan tahun 2005 sebanyak 11,27 juta serta jumlah penduduk setengah pengangguran sebanyak 30,1 juta. Mereka semua adalah penduduk usia produktif yang mengalami penurunan daya beli serta ketidakmampuan menyekolahkan anak mereka, artinya banyak diantara anak – anak mereka yang mengalami putus sekolah atau drop out.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata – rata lama pendidikan penduduk usia 15 tahun hanya 7,1% dibawah pendidikan dasar 9 tahun. Artinya penduduk dengan usia sampai 15 tahun yang dapat mengenyam pendidikan hanya 7,1%. Di lain pihak dapat dilihat pada data angka partisipasi sekolah, yaitu untuk penduduk usia 7-12 tahun (SD) 96%, usia 13-15 tahun (SMP) 81% dan usia 16-18 tahun (SMA) 50,97%. Hal ini berarti angka partisipasi sekolah menunjukkan tren yang semakin menurun, yaitu semakin tinggi jenjang suatu sekolah, maka semakin menurun kemampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak – anak mereka.
Keberadaaan masyarakat marjinal dengan kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan seperti diatas akan berdampak pada menurunnya kemampuan mereka untuk menyekolahkan anak - anaknya, sehingga program pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mengalami stagnasi. Artinya pemberdayaan masyarakat marjinal akan semakin sulit teratasi tanpa adanya peningkatan taraf hidup (pendapatan) masyarakat. Hal ini sesuai dengan fakta di beberapa negara maju, bahwa pendapatan masyarakat yang tinggi akan berbading lurus (berpengaruh) dengan peningkatan kualitas SDM. Sehingga akar permasalahan masyarakat marjinal sebenarnya adalah tidak adanya pendapatan / penghasilan yang memadai di kalangan mereka akibat terputusnya akses ekonomi, sehingga berdampak pada segi – segi kehidupan lainnya, termasuk pendidikan bagi anak – anak mereka.
Dengan demikian menurut penulis, bahwa kondisi masyarakat marjinal bila dibiarkan terus menerus akan berdampak pada sektor pendidikan seperti :
a. Semakin banyaknya angka putus sekolah (drop out) dan buta huruf di kalangan mereka.
b. Semakin menurunya kualitas SDM
c. Semakin tingginya angka pengangguran.
d. Semakin tingginya penyakit – penyakit sosial masyarakat dan kerawanan sosial masyarakat.
e. Indeks kemajuan pendidikan di Indonesia semakin tertinggal dengan negara – negara lain.
Konsep Dasar Pendidikan Life Skill
Beberapa pengertian tentang Life skill dari para ahli pendidikan berbeda – beda karena disesuaikan dengan kepentingan dari peserta didik, akan tetapi esensinya sama. Brolin (1989) mendifinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi independent dalam kehidupannya. Malik Fajar (2002) mendifinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan hidup untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur akademik. Sementara itu Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) menafsirkan kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Dalam konteks masyarakat marjinal ini maka pengertian – pengertian diatas merupakan konsep pemikiran yang perlu disosialisaikan pada masyarakat marjinal untuk memotivasi diri mereka dengan cara memberi bekal dasar dan latihan ketrampilan yang disesuaikan dengan nilai -- nilai kebutuhan hidup sehari – hari agar tidak selamanya mengalami keterpurukan dalam kehidupannya. Sehingga wajar apabila solusi PNF melalui pendidikan kecakapan hidup ini terus dikumandangkan pada mereka agar tertarik untuk mengikutinya baik di institusi pemerintah seperti SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) ataupun di lembaga – lembaga non profit seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) maupun LSM yang menyelenggarakan pendidikan Life Skill bagi masyarakat kurang mampu.
Sementara itu menurut Tim Broad-Based Education Depdiknas (2002) mengemukakan bahwa tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah :
1. Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi.
2. Memberikan kesempatan pada sekolah (Formal / Non Formal) untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas.
3. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lingkungan sekolah (Formal/Non Formal) dengan mendaur ulang limbah alam yang ada untuk dimanfaatkan sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Esensi dari pendidikan kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai – nilai kehidupan nyata, baik secara representatif maupun progresif.
Adanya pendidikan kecakapan hidup (Life Skill) bagi masyarakat marjinal ini akan memberikan manfaat yang nyata baik secara pribadi peserta didik maupun terhadap masyarakat lainnya yaitu :
1. Bagi peserta didik, akan dapat meningkatkan kualitas berfikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik. Peningkatan kualitas tersebut pada gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan – pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang pengembangan diri, kemampuan kompetitif dan kesejahteraan pribadi.
2. Bagi masyarakat, dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator – indikator sebagai berikut : peningkatan kesejahteraan sosial, pengurangan prilaku destruktif sehingga dapat mereduksi masalah – masalah sosial dan tumbuhnya harmonisasi dalam masyarakat dengan memadukan nilai – nilai religi, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni (cita rasa).
Implementasi Pendidikan Life Skill terhadap Masyarakat Marjinal
Keberadaan masyarakat marjinal di sekitar kita merupakan fenomena yang wajar dan harus diterima sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kita tidak dapat menghindar dari kenyataan tersebut sehingga tidak perlu saling menuding dan menyalahkan penyebab dari keberadaan mereka, Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana upaya kita sebagai anggota keluarga besar bangsa Indonesia ini untuk turut serta mencari solusi dalam rangka memberdayakan mereka agar tidak mengalami keterpurukan yang berkelanjutan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberdayakan mereka adalah dengan peningkatan kualitas hidup melalui jalur pendidikan non formal yaitu dengan mengikutsertakan mereka ke dalam program pendidikan kecakapan hidup (Life Skill). Banyak jenis pendidikan Life Skill yang dapat mereka pilih sesuai dengan kebutuhan hidup sehari – hari mereka. Menurut Tim Broad- Based Education Depdiknas (2002) bahwa kecakapan hidup meliputi lima katagori yaitu : a) Kecakapan personal, b) Kecakapan berpikir rasional, c) Kecakapan sosial, d) Kecakapan akademik dan e) Kecakapan Kejuruan. Sementara itu menurut Slamet PH (2009) merumuskan kecakapan hidup dalam dua katagori yaitu :
1. Kecakapan hidup bersifat dasar, meliputi :
a. Kecakapan belajar terus menerus : merupakan kecakapan terpenting bagi peserta didik, karena mau belajar untuk menambah wawasan / ilmu, sehingga dapat membuka kesuksesan di masa depan.
b. Kecakapan Calistung : kecakapan ini dapat memberikan peserta didik untuk memahami dan menafsirkan informasi baik dalam bentuk bacaan, tulisan maupun hitungan.
c. Kecakapan berkomunikasi : peserta didik dapat berinteraksi baik lisan, tulisan, gambar, dan mendengar.
d. Kecakapan berpikir : peserta didik dapat berpikir secara deduktif – induktif, ilmiah, kritis nalar, rasional, sistemik, dan kreatif dalam memecahkan persoalan dan pengambilan keputusan.
e. Kecakapan kalbu : iman (spiritual), rasa dan emosi yang terkendali bagi peserta didik, merupakan unsur – unsur pembentuk jiwa yang kuat disamping juga akal.
f. Kecakapan mengelola kesehatan badan : dengan badan sehat dan kuat , maka segala aktivitas dapat dilakukan dengan baik oleh peserta didik.
g. Kecakapan merumuskan keinginan dan upaya untuk mencapainya : peserta didik dapat memotivasi diri agar teguh dan pantang menyerah dalam menggapai cita – cita.
h. Kecakapan berkeluarga dan sosial : peserta didik diajarkan tentang nilai-nilai kasih sayang dalam keluarga seperti kesopanan, toleransi, kedamaian, keadailan, respek, kecintaan, solidaritas dan tatakrama. Disamping itu juga nilai-nilai sosial kemasyarakatan seperti menjunjung tinggi HAM, peduli pada barang-barang milik publik, kerjasama, tanggungjawab, keterbukaan dan apresiasi terhadap keanekaragaman.
2. Kecakapan hidup instrumental, meliputi :
a. Kecakapan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan : seperti memanfaatkan dalam bidang pertanian, peternakan, kerajinan, industri, perdagangan, dll.
b. Kecakapan mengelola sumber daya : seperti mengidentifikasi, mengorganisir, merencanakan dan mengalokasikan sumber daya.
c. Kecakapan bekerjasama dengan orang lain : diajarkan tentang pentingnya kebersamaan, menghargai orang lain, tangungjawab, akuntabilitas, manajemen negosiasi dan kepemimpinan.
d. Kecakapan memanfaatkan informasi : peserta didik diajarkan cara – cara mencari sumber informasi yang ada.
e. Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan : diajarkan cara berpikir, cara mengelola dan cara menganalisis kehidupan sebagai sistem.
f. Kecakapan berwirausaha : peserta didik diajarkan untuk (1) bersikap dan berpikiran mandiri, (2) bersikap berani menaggung resiko, (3) tidak suka mencari kambing hitam, (4) berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumber daya, (5) terbuka terhadap umpan balik, (6) selalu ingin perubahan yang lebih baik, (7) tidak pernah puas, selalu berinovasi dan improvisasi demi perbaikan, (8) memiliki tangungjawab moral yang baik.
Dalam kontek masyarakat marjinal, maka semua katagori kecakapan hidup seperti diatas baru dapat berdampak pada mereka jika katagori kecakapan hidup tersebut dapat mengangkat harkat kehidupan mereka yaitu bagaimana caranya agar mendapatkan penghasilan yang layak bagi kelangsungan hidup mereka. Dengan penghasilan yang layak tentunya mereka dapat mengatasi segala problema yang mereka hadapi, termasuk ketidakmampuan menyekolahkan putra putrinya. Sehingga berdasarkan lima katagori maupun dua katagori pendidikan life skill tadi, maka yang mungkin mereka pilih adalah kecakapan kejuruan / ketrampilan dengan dijiwai kecakapan berwirausaha, yaitu dengan memilih minat / bakat ketrampilan apa yang dapat dikuasai untuk mendapatkan penghasilan (income) dan berusaha untuk mandiri dengan cara berwirausaha. Ini adalah pilihan yang rasional yang saat ini mereka butuhkan.
Penerapan pendidikan life skill dengan memilih kecakapan kejuruan dan dengan dijiwai kecakapan berwirausaha dapat diaplikasikan jika mereka memiliki kesadaran akan potensi dirinya untuk berkembang serta bermanfaat bagi kelangsungan kehidupannya. Artinya mereka sadar akan butuh ilmu ketrampilan yang akan digunakan kelak untuk berwirausaha. Tinggal bagaimana mereka dapat mengasah kecakapan berpikir dan kecakapan mencari informasi tentang jenis ketrampilan apa saja yang dapat dipelajari dan di lembaga / institusi mana saja yang menyediakan pembelajaran kecakapan kejuruan tersebut.
Disinilah peran institusi Pendidikan Non Formal (PNF) seperti Sanggar Kegitan Belajar (SKB), PKBM serta LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat, untuk mengajak mereka (masyarakat marjinal) belajar kecakapan kejuruan / ketrampilan serta kecakapan berwirausaha. Ajakan dan himbauan ini tidaklah berguna jika metode pendekatan kita tidak menerapkan sistem “Human Approach” yaitu system pendekatan kemanusiaan dengan memberikan perngertian dan memotivasi mereka akan pentingnya belajar untuk menambah ilmu dan wawasan demi kelangsungan hidup mereka. Tentu hal ini tidak mudah dan membutuhkan waktu serta ketekunan tersendiri, sehingga diharapkan dengan kesadaran mereka sendiri untuk bangkit dari keterpurukan dan mereka bersedia belajar untuk menambah ilmu ketrampilan dan berwirausaha demi menatap masa depan yang lebih cerah. Apabila kesadaran dan motivasi untuk bangkit agar tetap survive, maka lambat laun permasalahan yang ada pada masyarakat marjinal dapat dikurangi.
Bagi institusi PNF yang menyelenggarakan pendidikan kecakapan hidup dapat memberikan berbagai macam ketrampilan seperti otomotif, las bubut, komputer, pertukangan, elektro, menjahit, border, kerajinan, sablon, agribsinis, peternakan, perikanan dan lain – lain. Dalam proses pembelajaran, maka seyogjanya institusi PNF tadi telah memiliki link / jaringan ke perusahaan untuk proses pemagangan dari peserta didik. Link / jaringan selajutnya yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian informasi tentang lembaga – lembaga keuangan yang dapat membiaya usaha mikro bagi peserta didik yang berkeinginan untuk usaha mandiri. Jika tahapan proses – proses yang telah dilakukan oleh institusi PNF tadi seperti pendekatan kemanusiaan, pemberian informasi, penyelenggaraan pendidikan, pemagangan dan permodalan dapat dilalui dengan baik, maka besar kemungkinan pemberdayaan masyarakat marjinal dapat dituntaskan melalui pendidikan Life Skill.
SUMBER BACAAN
Download artikel, Slamet _PH, 12 April 2010, Pendidikan Kecakapan Hidup : Konsep Dasar.
Download artikel, Ningrum Khasanah, 12 April 2010, Pembelajaran Life Skill (Kecakapan Hidup) Di Sekolah Alam Ar_Ridho Bukit Kencana Jaya Kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Download artikel, 16 April 2010, PKBM Solusi Pendidikan Memberdayakan Masyarakat Marjinal.
Download artikel, Sarah Serena, SH, MH, 16 April 2010, Negara, Pemiskinan Struktural dan Kaum Buruh.
Download artikel, Jawahir Tantowi, SH, PhD, 16 April 2010, Masyarakat Marjinal Perbatasan di Kalimantan Barat.
Terima kasih informasinya Mas, ijin share, artikelnya luar biasa detil dan mudah dipahami
BalasHapusSama - sama, semoga bermanfaat.
Hapus