(Ponorogo 10/02) Mengawali Tahun 2013 ini Dikmen mengadakan proyek
rintisan Kejar Paket C berstandar Nasional yang ditujukan pada 50 lembaga
penyelenggara program Kesetaraan Paket C di 14 provinsi. Tujuannya jelas, agar
pendidikan Kesetaraan program Paket C dapat benar – benar mengacu pada 8
standar pendidikan, sehingga output yang dihasilkan akan dapat setara dengan
Pendidikan Formal (SMA).
Disamping itu juga dalam hajatan
Ujian Nasional April 2013 nanti, diterapkan sistem baru yaitu UNPK Paket C dan
UN SMA akan dilaksanakan bersamaan dengan 20 model soal yang berbeda dalam satu
ruang kelas. Hal ini menunjukkan upaya – upaya dari Kemendikbud agar peserta
didik dari pendidikan Kesetaraan Paket C dapat disejajarkan dengan lulusan SMU
(Pendidikan Formal). Sebagai seorang pelaku PNFI, tentulah sangat setuju sekali
atas segala upaya dari Kemendikbud dan Dirjen terkait, agar pamor Pendidikan
Kesetaraan Paket C menjadi lebih moncer. Akan tetapi jangan lupa bahwa yang
kita hadapi adalah peserta didik yang bermasalah. Artinya Pendidikan Kesetaraan
tidak hanya berkutat pada persolaan pendanaan, sistem atau saspras saja, akan
tetapi yang lebih krusial adalah obyek / peserta didiknya. Jadi sampai kapan
pun bahkan sampai dunia ini berakhir, peserta didik Kejar Paket C ( output /
obyek ) tidak bakalan dapat disamakan / disejajarkan / disetarakan dengan peserta
didik SMU.
Ada 2 argumentasi yang mendasari hal tersebut, antara lain :
1.
Ditinjau dari standar pelayanan minimal
Kesetaraan ( KepMendiknas No.
055/U/2001 ) yang jauh panggang dari 8 standar Pendidikan
Nasional, yaitu sebagai berikut :
NO
|
KOMPONEN
|
INDIKATOR
/ KRITERIA / SARAT
|
Standar
Minimal
|
1.
|
Program Kegiatan
|
·
Proses KBM
·
Terlaksananya program kegiatan belajar
·
Tersedianya bahan belajar
|
Ada
Baik
Ada
|
2.
|
Peserta Didik
|
· Paket
A usia 7 – 44 thn (prioritas 7 – 15 thn), belum SD / drop out SD.
· Paket
B usia 12 – 44 thn (prioritas 13 – 18 thn), lulus SD / Paket A
· Paket
C usia 15 – 44 thn (prioritas 15 – 24 thn), lulus SMP / drop out SMA / lulus
paket B.
· Keberadaan
warga belajar
· Tingkat
partisipasi warga belajar (WB)
· Jumlah
WB dalam kelompok
|
Terpenuhi
Terpenuhi
Terpenuhi
Ada
Tercapai
Tercapai
|
3.
|
Ketenagaan
|
· Penyelenggara
/ Pengelola
·
Tutor ( Tidak harus sesuai jurusan )
·
Ratio Tutor dengan PD ( ideal1 : 20 )
|
SKB/PKBM
Ada
Tercapai
|
4.
|
Sarana Prasarana
|
· Tempat
/ ruang belajar
· Meja
dan lemari
· Buku
modul bahan belajar pokok
· Buku
administrasi Kelompok Belajar
|
Ada
Tersedia
Tersedia
Tersedia
|
5.
|
Pembiayaan
|
· Anggaran
Pemerintah (APBD/APBN)
· Anggaran
Masyarakat (Swadaya)
|
Tersedia
Ada
|
6.
|
Peran serta Masyarakat
|
· Pemantauan
tokoh masyarakat
· Pemantauan
oleh masyarakat
|
Ada
Ada
|
7.
|
Kurrikulum dan Pembelajaran
|
·
Mata Pelajaran Paket A dan B sama dengan SD dan SMP
·
Mata Pelajaran Paket C hanya bisa untuk IPS saja.
·
Bahan belajar berupa modul dan lembar tugas partisipasi warga belajar
(LTP-WB)
·
Proses KBM bersifat tutorial – klasikal, yaitu WB dituntut untuk
berpartisipasi aktif / belajar mandiri atau kelompok.
·
Alokasi waktu Paket A, 9 jam/minggu @ 60 menit
·
Alokasi waktu Paket B, 12 jam / minggu @ 60 menit
·
Alokasi waktu Paket C, 16 jam/minggu @ 60 mnt
|
Terpenuhi
Ada
Ada
Terpenuhi
Terpenuhi
Terpenuhi
Terpenuhi
|
2.
Ditinjau dari Indikator 10 patokan Dikmas, maka perbedaan
antara Pendidikan Kesetaraan Paket C dengan Pendidikan Formal (SMU), yaitu
sebagai berikut :
NO
|
INDIKATOR
|
PERBEDAAN
|
|
PENDIDIKAN NON FORMAL
( Paket A,B,C )
|
PENDIDIKAN FORMAL
( SD, SMP, SMU )
|
||
1.
|
Peserta didik |
§ Rentang usia warga belajar heterogen (10-44 tahun)
§ Latar Belakang pendidikan warga belajar heterogen
§ Motivasi belajar karena kebutuhan mendesak / ijazah
§ Warga belajar dapat berfungsi sebagai sumber belajar
§ Warga belajar lebih Mandiri dalam memilih program yang
dibutuhkan
§ Penerapan warga belajar berdasarkan sasaran
§ Ada yang sudah bekerja baru ikut belajar
|
§ Rentang usia setiap jenjang lebih homogen
§ Latar Belakang pendidikan lebih homogen
§ Motivasi belajar untuk prestasi jangka panjang
§ Siswa bertindak sebagai anak didik
§ Siswa tidak dapat memilih program sesuai kebutuhannya
§ Penerapan siswa berdasarkan nilai yang diperoleh
§ Selesai sampai jenjang tertentu baru mencari pekerjaan
|
2.
|
Tutor / sumber belajar |
§ Biasanya disebut tutor
§ Pemilihan tutor lebih ditekankan pada segi keterampilan
yang dimilikinya
§ Bersifat terbuka (siapapun dapat menjadi tutor)
§ Bertindak sebagai fasilitator
§ Tidak ada perjenjangan karir
§ Tidak digaji pemerintah / honor
|
§ Disebut guru
§ Ditekankan pada kemampuan akademis
§
Bersifat
tertutup (latar Belakang akademik)
§ Bersifat sebagai nara sumber utama
§ Ada jenjang karir
§ Digaji pemerintah / swasta
|
3.
|
Penyelenggara |
§ Lebih bersifat sukarela / nonbenefit (kecuali untuk program khusus)
§ Perseorangan, PKBM, LSM atau instansi (SKB/BPPNFI)
§ Bertindak sebagai fasilitator
|
§ Mendapat gaji
§
Diselenggarkan
oleh pemerintah atau lembaga / yayasan berbadan hukum
§ Bertindak sebagai pengelola
|
4.
|
Sarana belajar |
§ Sarana belajar berbentuk variatif (modul, leaflet,
booklet, poster, dsb) sesuai dengan kebutuhan belajar
§ Materi bahan belajar dikembangkan sesuai program yang
dikembangkan
§ Sarana belajar/learning kit sangat variatif
§ Bahan belajar dapat disusun oleh siapa saja (termasuk
warga belajar itu sendiri)
§ Memanfaatkan sarana belajar yang ada
§ Pengalaman peserta didik dimanfaatkan utk bhn belajar
|
§ Sarana / learning kit yang dibutuhkan sudah baku
§ Materi bahan belajar homogen (berdasarkan kurikulum
nasional)
§ Jenis bahan belajar kurang variatif (bentuk buku atau
modul)
§ Bahan belajar disusun oleh para ahli
§ Sering berubah-ubah
§ Kurang mengakomodasi pengalaman siswa / peserta didik
|
5.
|
Tempat Belajar |
§ Memanfaatkan bangunan prasarana yang ada
§ Mengoptimalkan sarana yang tersedia
|
§ Dilakukan di gedung sekolah sendiri
§ Mengadakan sarana yang dibutuhkan (Sengaja diadakan
untuk mendukung proses belajar)
|
6.
|
Dana |
§ Swadaya masyarakat/ warga belajar
§ Bantuan pemerintah, LSM, badan swasta lainnya
§ Pengelolaan dana hak dari penyelenggara & bersifat
tertutup.
|
§ Swadaya
§ Bantuan pemerintah
§ Dibebankan pada negara
§ Pengelolaan dana bersama dengan komite sekolah.
|
7.
|
Ragi belajar |
§ Pemberian ragi belajar disesuaikan dengan kebutuhan
warga belajar
|
§ Pemberian ragi belajar harus sesuai kurikurulum dan terstandar
|
8.
|
Kelompok belajar |
§ Jumlah kelompok 10-20 orang
§ Pembentukan kelompok berdasarkan minat yang sama
(melibatkan warga belajar)
§ Ikatan kelompok bersifat informal
|
§ Jumlah kelompok bisanya 30 lebih
§ Pembentukan kelas ditentukan oleh penyelenggara
§ Ikatan kelompok bersifat formal
|
9.
|
Program belajar |
§ Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan WB
§ Kurikulum lebih menekankan kemampuan praktis
§ Memungkinkan perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan
perubahan keadaan tempat.
§ Program belajar boleh tidak berjenjang
§ Persyaratan keikutsertaan program belajar relatif
terbuka (usia latar Belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dsb)
§ Program dikembangkan untuk mengatasi masalah riil yang
dirasakan mendesak/ jangka pendek
§ Penyusunan program melibatkan masyarakat secara
partisipatif
§ Proses pembelajaran secara kelompok dan mandiri
§ Pelaksanaan / waktu belajar fleksibel sesuai
kesepakatan
§ Penyelesaian program relative singkat
§ Memberdayakan potensi sumber setempat
§ Sistem pembelajaran tatap muka, tutorial dan
mandiri
|
§ Kurikulum disusun di pusat (sentralisasi)
§ Lebih menekankan kemampuan teoretis akademis
§ Kurikulum lebih bersifat baku (sulit berubah) kurang dinamis
tidak adaftif dengan perkembangan
§ Perjenjangan bersifat baku
§ Persyaratan keikutsertaan program bersifat baku dan
berlaku menyeluruh (secara nasional)
§ Program dikembangkan untuk menyiapkan peserta untuk
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
§ Program disusun sepenuhnya oleh pemerintah, masyarakat
bersifat pasif / pengguna
§ Pembelajaran dilakukan secara klasikal
§ Waktu belajar sudah pasti
§ Penyelesaian program lama
§ Penekanan pada penguasaan pengetahuan akademis
§ Mengabaikan nara sumber / potensi sekitar
§ Sistem pembelajaran 90 % tatap muka.
|
10.
|
Hasil belajar |
§ Hasil belajar dapat dijadikan bekal untuk
bermatapencaharian
§ Hasil belajar berdampak terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat
§ Dapat diterapkan sehari-hari
§ Ijazah kurang diakui oleh jenjang yang lebih tinggi
|
§ Berpotensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan
lebih tinggi
§ Hasil belajar untuk jenjang karir di masa datang
§ Hasil belajar tidak dapat langsung diterapkan dalam
dunia nyata
§ Ijazah merupakan hasil akhir
|
Dari dua argumentasi itu saja,
kita sudah mendapatkan gambaran secara umum betapa jauhnya “derajat”/”kasta”
yang dimiliki oleh Pendidikan Kesetaraan Paket C, jika dibandingkan dengan
Pendidikan Formal SMU. Bagaikan kodok merindukan bulan. Mengapa demikian ?
Karena kita terjebak oleh pengistilahan Kesetaraan, yang seolah - olah
menginfromasikan kepada publik bahwa output peserta didik Paket C itu memiliki
kualitas yang sama dengan output Peserta didik SMU. Walaupun sekarang diadakan proyek
rintisan Paket C Berstandar Nasional yang menerapkan “kontrak belajar” antara
peserta didik, tutor dan pengelola, maka hal itu tidak serta merta dapat menjamin
naiknya “derajat”/”kasta” dari Program Pendidikan Kesetaraan.
Ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan sulitnya Program
Pendidikan Kesetaraan dapat naik “derajat/kasta” antara lain :
1. Faktor latar belakang peserta didik Paket C yang
termarjinalkan baik dari segi ekonomi, sosial, pendidikan, dan lainnya.
2.
Faktor motivasi belajar peserta didik yang
berbeda antara Pakat C dengan SMU.
3.
Faktor keragaman persoalan pribadi dari peserta
didik Paket C, artinya tidak mungkin seseorang masuk menjadi siswa Kejar Paket
C, kalau mereka tidak memiliki masalah yang krusial. Dengan kata lain mereka
yang mengikuti Program Pendidikan Kesetaraan 90% pasti adalah orang – orang
yang bermasalah.
4. Faktor geografis, yaitu banyak peserta didik
Program Kesetaraan dari desa-desa pelosok atau menjadi anak asuh bagi orang
tua-orang tua yang tinggal di kota. Sehingga secara psikologis mereka sudah minder
dan kurang percaya diri.
5.
Faktor gengsi dan keraguan kualitas, artinya
belum ada anak – anak dari Pelaku PNFI (Pamong Belajar, Penilik bahkan pegawai
di Kemdiknas / Dirjen terkait) yang tega menyekolahkan putra putrinya ke
Pendidikan Kesetaraan.
Oleh karena itu diperlukan suatu
kejujuran dalam penamaan dan penyebutan istilah-istilah pada Program Pendidikan
Kesetaraan (Kejar Paket A, B dan C). Artinya selama ini kita dan masyarakat
umum secara tidak langsung didoktrin oleh istilah – istilah yang mengaburkan
arti sebenarnya (pemaknaan). Kata “Setara” atau “Sejajar” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki makna “Sama” atau “disamakan”. Jika yang dimaksud Pendidikan Kesetaraan dalam
konteks kelulusan yaitu bahwa lulusan peserta didik Paket C akan memiliki
kompetensi “setara / sejajar” dengan lulusan peserta didik SMU atau Ijazah yang
dihasilkan dari Program Kejar Paket C “setara / sejajar” dengan Ijazah yang
dihasilkan Sekolah SMU, maka inilah yang menjadi problem utama, kerancuan dan
pengaburan arti/makna sebenarnya, hingga kita dan masyarakat umum terjebak dengan
doktrin seolah - olah lulusan Ijazah paket C setara kualitasnya dengan Ijazah
SMU. Hal ini nantinya akan menjadi bumerang bagi KEMDIKBUD karena dapat
dikatakan sebagai informasi yang menyesatkan.
Sebagai solusi mari kita sebagai
pemangku kebijakan ataupun sebagai pelaku PNFI harus mengakui secara jujur
bahwa memang Program Pendidikan Kesetaraan itu berbeda baik dari segi kualitas
maupun kuantitas dengan Pendidikan Formal SMU. Sehingga penamaan Pendidikan
Kesetaraanpun sebaiknya dirubah, mungkin dengan nama Pendidikan Alternatif atau
nama yang lain. Sebagai institusi Pendidikan PNFI (SKB/PKBM/BPKB/BP PAUDNI)
tentulah mengharapkan dapat menelurkan peserta didik yang terbaik sebagai
manivestasi ikut mengorbitkan generasi penerus bangsa. Dan sebagai pendidikpun
(Pamong Belajar), dituntut memberikan pembelajaran dengan materi yang benar dan
jujur. Kalau penamaan istilah saja sudah tidak jujur, bagaimana kita dapat
menelurkan generasi yang baik dan berkualitas ?
Terakhir, yang terpenting setelah
ada pergantian nama / istilah, bahwa lulusan paket A, B, C (Pendidikan
Kesetaraan) diberikan regulasi yang nyata oleh pemerintah agar dapat meneruskan
ke jenjang Pendidikan Formal yang lebih tinggi, tanpa harus berbelit birokrasi
serta membedakan dengan lulusan pendidikan Formal (SD, SMP, SMU).