Sabtu, 09 Februari 2013

JANGAN KATAKAN SETARA



(Ponorogo 10/02) Mengawali Tahun 2013 ini Dikmen mengadakan proyek rintisan Kejar Paket C berstandar Nasional yang ditujukan pada 50 lembaga penyelenggara program Kesetaraan Paket C di 14 provinsi. Tujuannya jelas, agar pendidikan Kesetaraan program Paket C dapat benar – benar mengacu pada 8 standar pendidikan, sehingga output yang dihasilkan akan dapat setara dengan Pendidikan Formal (SMA).

Disamping itu juga dalam hajatan Ujian Nasional April 2013 nanti, diterapkan sistem baru yaitu UNPK Paket C dan UN SMA akan dilaksanakan bersamaan dengan 20 model soal yang berbeda dalam satu ruang kelas. Hal ini menunjukkan upaya – upaya dari Kemendikbud agar peserta didik dari pendidikan Kesetaraan Paket C dapat disejajarkan dengan lulusan SMU (Pendidikan Formal). Sebagai seorang pelaku PNFI, tentulah sangat setuju sekali atas segala upaya dari Kemendikbud dan Dirjen terkait, agar pamor Pendidikan Kesetaraan Paket C menjadi lebih moncer. Akan tetapi jangan lupa bahwa yang kita hadapi adalah peserta didik yang bermasalah. Artinya Pendidikan Kesetaraan tidak hanya berkutat pada persolaan pendanaan, sistem atau saspras saja, akan tetapi yang lebih krusial adalah obyek / peserta didiknya. Jadi sampai kapan pun bahkan sampai dunia ini berakhir, peserta didik Kejar Paket C ( output / obyek ) tidak bakalan dapat disamakan / disejajarkan / disetarakan dengan peserta didik SMU.
Ada 2 argumentasi yang mendasari hal tersebut, antara lain :
1.    Ditinjau dari standar pelayanan minimal Kesetaraan ( KepMendiknas No. 055/U/2001 ) yang jauh panggang dari 8 standar Pendidikan Nasional, yaitu sebagai berikut :
NO
KOMPONEN
INDIKATOR / KRITERIA / SARAT
Standar Minimal
1.
Program Kegiatan
·    Proses KBM
·    Terlaksananya program kegiatan belajar
·    Tersedianya bahan belajar
Ada
Baik
Ada
2.
Peserta Didik
·    Paket A usia 7 – 44 thn (prioritas 7 – 15 thn), belum SD / drop out SD.
·    Paket B usia 12 – 44 thn (prioritas 13 – 18 thn), lulus SD / Paket A
·    Paket C usia 15 – 44 thn (prioritas 15 – 24 thn), lulus SMP / drop out SMA / lulus paket B.
·    Keberadaan warga belajar
·    Tingkat partisipasi warga belajar (WB)
·    Jumlah WB dalam kelompok

Terpenuhi

Terpenuhi

Terpenuhi
Ada
Tercapai
Tercapai
3.
Ketenagaan
·    Penyelenggara / Pengelola
·    Tutor ( Tidak harus sesuai jurusan )
·    Ratio Tutor dengan PD ( ideal1 : 20 )
SKB/PKBM
Ada
Tercapai
4.
Sarana Prasarana
·    Tempat / ruang belajar
·    Meja dan lemari
·    Buku modul bahan belajar pokok
·    Buku administrasi Kelompok Belajar
Ada
Tersedia
Tersedia
Tersedia
5.
Pembiayaan
·    Anggaran Pemerintah (APBD/APBN)
·    Anggaran Masyarakat (Swadaya)
Tersedia
Ada
6.
Peran serta Masyarakat
·    Pemantauan tokoh masyarakat
·    Pemantauan oleh masyarakat
Ada
Ada
7.
Kurrikulum dan Pembelajaran
·    Mata Pelajaran Paket A dan B sama dengan SD dan SMP
·    Mata Pelajaran Paket C hanya bisa untuk IPS saja.
·    Bahan belajar berupa modul dan lembar tugas partisipasi warga belajar (LTP-WB)
·    Proses KBM bersifat tutorial – klasikal, yaitu WB dituntut untuk berpartisipasi aktif / belajar mandiri atau kelompok.
·    Alokasi waktu Paket A, 9 jam/minggu @ 60 menit
·    Alokasi waktu Paket B, 12 jam / minggu @ 60 menit
·    Alokasi waktu Paket C, 16 jam/minggu @ 60 mnt
Terpenuhi

Ada

Ada
Terpenuhi


Terpenuhi
Terpenuhi
Terpenuhi

2.    Ditinjau dari Indikator 10 patokan Dikmas, maka perbedaan antara Pendidikan Kesetaraan Paket C dengan Pendidikan Formal (SMU), yaitu sebagai berikut :
NO
INDIKATOR
PERBEDAAN
PENDIDIKAN NON FORMAL
( Paket A,B,C )
PENDIDIKAN FORMAL
( SD, SMP, SMU )
1.
Peserta didik
§ Rentang usia warga belajar heterogen (10-44 tahun)
§ Latar Belakang pendidikan warga belajar heterogen
§ Motivasi belajar karena kebutuhan mendesak / ijazah
§ Warga belajar dapat berfungsi sebagai sumber belajar
§ Warga belajar lebih Mandiri dalam memilih program yang dibutuhkan
§ Penerapan warga belajar berdasarkan sasaran
§ Ada yang sudah bekerja baru ikut belajar
§ Rentang usia setiap jenjang lebih homogen
§ Latar Belakang pendidikan lebih homogen
§ Motivasi belajar untuk prestasi jangka panjang
§ Siswa bertindak sebagai anak didik
§ Siswa tidak dapat memilih program sesuai kebutuhannya
§ Penerapan siswa berdasarkan nilai yang diperoleh
§ Selesai sampai jenjang tertentu baru mencari pekerjaan
2.
Tutor / sumber  belajar
§ Biasanya disebut tutor
§ Pemilihan tutor lebih ditekankan pada segi keterampilan yang dimilikinya
§ Bersifat terbuka (siapapun dapat menjadi tutor)
§ Bertindak sebagai fasilitator
§ Tidak ada perjenjangan karir
§ Tidak digaji pemerintah / honor
§  Disebut guru
§  Ditekankan pada kemampuan akademis
§  Bersifat tertutup (latar Belakang akademik)
§  Bersifat sebagai nara sumber utama
§  Ada jenjang karir
§  Digaji pemerintah / swasta
3.
Penyelenggara 

§ Lebih bersifat sukarela / nonbenefit (kecuali untuk program khusus)
§ Perseorangan, PKBM, LSM atau instansi (SKB/BPPNFI)
§ Bertindak sebagai fasilitator
§  Mendapat gaji
§  Diselenggarkan oleh pemerintah atau lembaga / yayasan berbadan hukum
§  Bertindak sebagai pengelola
4.
Sarana belajar
§ Sarana belajar berbentuk variatif (modul, leaflet, booklet, poster, dsb) sesuai dengan kebutuhan belajar
§ Materi bahan belajar dikembangkan sesuai program yang dikembangkan
§ Sarana belajar/learning kit sangat variatif
§ Bahan belajar dapat disusun oleh siapa saja (termasuk warga belajar itu sendiri)
§ Memanfaatkan sarana belajar yang ada
§ Pengalaman peserta didik dimanfaatkan utk bhn belajar
§  Sarana / learning kit yang dibutuhkan sudah baku
§  Materi bahan belajar homogen (berdasarkan kurikulum nasional)
§  Jenis bahan belajar kurang variatif (bentuk buku atau modul)
§  Bahan belajar disusun oleh para ahli
§  Sering berubah-ubah
§  Kurang mengakomodasi pengalaman siswa / peserta didik
5.
Tempat Belajar
§ Memanfaatkan bangunan prasarana yang ada
§ Mengoptimalkan sarana yang tersedia
§  Dilakukan di gedung sekolah sendiri
§  Mengadakan sarana yang dibutuhkan (Sengaja diadakan untuk mendukung proses belajar)
6.
Dana
§ Swadaya masyarakat/ warga belajar
§ Bantuan pemerintah, LSM, badan swasta lainnya
§ Pengelolaan dana hak dari penyelenggara & bersifat tertutup.
§  Swadaya
§  Bantuan pemerintah
§  Dibebankan pada negara
§  Pengelolaan dana bersama dengan komite sekolah.
7.
Ragi belajar
§ Pemberian ragi belajar disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar
§  Pemberian ragi belajar harus sesuai kurikurulum dan terstandar
8.
Kelompok belajar
§ Jumlah kelompok 10-20 orang
§ Pembentukan kelompok berdasarkan minat yang sama (melibatkan warga belajar)
§ Ikatan kelompok bersifat informal
§  Jumlah kelompok bisanya 30 lebih
§  Pembentukan kelas ditentukan oleh penyelenggara
§  Ikatan kelompok bersifat formal
9.
Program belajar
§ Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan WB
§ Kurikulum lebih menekankan kemampuan praktis
§ Memungkinkan perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan perubahan keadaan tempat.
§ Program belajar boleh tidak berjenjang
§ Persyaratan keikutsertaan program belajar relatif terbuka (usia latar Belakang pendidikan, sosial, ekonomi, dsb)
§ Program dikembangkan untuk mengatasi masalah riil yang dirasakan mendesak/ jangka pendek
§ Penyusunan program melibatkan masyarakat secara partisipatif
§ Proses pembelajaran secara kelompok dan mandiri
§ Pelaksanaan / waktu belajar fleksibel sesuai kesepakatan
§ Penyelesaian program relative singkat
§ Memberdayakan potensi sumber setempat
§ Sistem pembelajaran tatap muka, tutorial dan mandiri
§  Kurikulum disusun di pusat (sentralisasi)
§  Lebih menekankan kemampuan teoretis akademis
§  Kurikulum lebih bersifat baku (sulit berubah) kurang dinamis tidak adaftif dengan perkembangan
§  Perjenjangan bersifat baku
§  Persyaratan keikutsertaan program bersifat baku dan berlaku menyeluruh (secara nasional)
§  Program dikembangkan untuk menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
§  Program disusun sepenuhnya oleh pemerintah, masyarakat bersifat pasif / pengguna
§  Pembelajaran dilakukan secara klasikal
§  Waktu belajar sudah pasti
§  Penyelesaian program lama
§  Penekanan pada penguasaan pengetahuan akademis
§  Mengabaikan nara sumber / potensi sekitar
§  Sistem pembelajaran 90 % tatap muka.
10.
Hasil belajar
§ Hasil belajar dapat dijadikan bekal untuk bermatapencaharian
§ Hasil belajar berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
§ Dapat diterapkan sehari-hari
§ Ijazah kurang diakui oleh jenjang yang lebih tinggi
§  Berpotensi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi
§  Hasil belajar untuk jenjang karir di masa datang
§  Hasil belajar tidak dapat langsung diterapkan dalam dunia nyata
§  Ijazah merupakan hasil akhir

Dari dua argumentasi itu saja, kita sudah mendapatkan gambaran secara umum betapa jauhnya “derajat”/”kasta” yang dimiliki oleh Pendidikan Kesetaraan Paket C, jika dibandingkan dengan Pendidikan Formal SMU. Bagaikan kodok merindukan bulan. Mengapa demikian ? Karena kita terjebak oleh pengistilahan Kesetaraan, yang seolah - olah menginfromasikan kepada publik bahwa output peserta didik Paket C itu memiliki kualitas yang sama dengan output Peserta didik SMU. Walaupun sekarang diadakan proyek rintisan Paket C Berstandar Nasional yang menerapkan “kontrak belajar” antara peserta didik, tutor dan pengelola, maka hal itu tidak serta merta dapat menjamin naiknya “derajat”/”kasta” dari Program Pendidikan Kesetaraan.
Ada beberapa faktor mendasar yang menyebabkan sulitnya Program Pendidikan Kesetaraan dapat naik “derajat/kasta” antara lain :
1. Faktor latar belakang peserta didik Paket C yang termarjinalkan baik dari segi ekonomi, sosial,  pendidikan, dan lainnya.
2.    Faktor motivasi belajar peserta didik yang berbeda antara Pakat C dengan SMU.
3.    Faktor keragaman persoalan pribadi dari peserta didik Paket C, artinya tidak mungkin seseorang masuk menjadi siswa Kejar Paket C, kalau mereka tidak memiliki masalah yang krusial. Dengan kata lain mereka yang mengikuti Program Pendidikan Kesetaraan 90% pasti adalah orang – orang yang bermasalah.
4.  Faktor geografis, yaitu banyak peserta didik Program Kesetaraan dari desa-desa pelosok atau menjadi anak asuh bagi orang tua-orang tua yang tinggal di kota. Sehingga secara psikologis mereka sudah minder dan kurang percaya diri.
5.    Faktor gengsi dan keraguan kualitas, artinya belum ada anak – anak dari Pelaku PNFI (Pamong Belajar, Penilik bahkan pegawai di Kemdiknas / Dirjen terkait) yang tega menyekolahkan putra putrinya ke Pendidikan Kesetaraan.

Oleh karena itu diperlukan suatu kejujuran dalam penamaan dan penyebutan istilah-istilah pada Program Pendidikan Kesetaraan (Kejar Paket A, B dan C). Artinya selama ini kita dan masyarakat umum secara tidak langsung didoktrin oleh istilah – istilah yang mengaburkan arti sebenarnya (pemaknaan). Kata “Setara” atau “Sejajar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna “Sama” atau “disamakan”.  Jika yang dimaksud Pendidikan Kesetaraan dalam konteks kelulusan yaitu bahwa lulusan peserta didik Paket C akan memiliki kompetensi “setara / sejajar” dengan lulusan peserta didik SMU atau Ijazah yang dihasilkan dari Program Kejar Paket C “setara / sejajar” dengan Ijazah yang dihasilkan Sekolah SMU, maka inilah yang menjadi problem utama, kerancuan dan pengaburan arti/makna sebenarnya, hingga kita dan masyarakat umum terjebak dengan doktrin seolah - olah lulusan Ijazah paket C setara kualitasnya dengan Ijazah SMU. Hal ini nantinya akan menjadi bumerang bagi KEMDIKBUD karena dapat dikatakan sebagai informasi yang menyesatkan.
Sebagai solusi mari kita sebagai pemangku kebijakan ataupun sebagai pelaku PNFI harus mengakui secara jujur bahwa memang Program Pendidikan Kesetaraan itu berbeda baik dari segi kualitas maupun kuantitas dengan Pendidikan Formal SMU. Sehingga penamaan Pendidikan Kesetaraanpun sebaiknya dirubah, mungkin dengan nama Pendidikan Alternatif atau nama yang lain. Sebagai institusi Pendidikan PNFI (SKB/PKBM/BPKB/BP PAUDNI) tentulah mengharapkan dapat menelurkan peserta didik yang terbaik sebagai manivestasi ikut mengorbitkan generasi penerus bangsa. Dan sebagai pendidikpun (Pamong Belajar), dituntut memberikan pembelajaran dengan materi yang benar dan jujur. Kalau penamaan istilah saja sudah tidak jujur, bagaimana kita dapat menelurkan generasi yang baik dan berkualitas ?
Terakhir, yang terpenting setelah ada pergantian nama / istilah, bahwa lulusan paket A, B, C (Pendidikan Kesetaraan) diberikan regulasi yang nyata oleh pemerintah agar dapat meneruskan ke jenjang Pendidikan Formal yang lebih tinggi, tanpa harus berbelit birokrasi serta membedakan dengan lulusan pendidikan Formal (SD, SMP, SMU).